Wednesday, December 10, 2025

Pelukan Ibu, Tempat Semua Lelah Berhenti


 Bel sekolah berbunyi keras, membuyarkan keheningan kelas yang sejak tadi terasa menekan. Ardan berdiri cepat, mengambil tasnya, dan keluar dengan perasaan lega seolah seluruh beban langsung terangkat dari bahunya. Di luar, Reno dan Fikri sudah menunggunya. Tawa mereka pecah spontan, seperti kembang api yang menyala tanpa aba-aba.

Sore selalu menjadi waktu paling mereka tunggu.
Sore adalah jeda ruang untuk bernapas setelah seharian penuh pelajaran.
Bukan sekadar saat matahari mulai turun, tetapi juga waktu ketika kebebasan terasa menyentuh wajah seperti angin yang berlari tanpa henti.

“Gas ke lapangan basket, Dan!” seru Reno, matanya berbinar seperti anak kecil melihat camilan favoritnya didiskon.

Ardan tersenyum lebar. Ia melempar tas ke punggung dan berlari bersama kedua sahabatnya menuju lapangan kecil di tepi sungai. Lapangan itu memang tidak sempurna: garis cat sudah pudar, ringnya sedikit miring, tapi bagi mereka tempat itulah yang paling bisa menampung tawa.

Pertandingan dimulai.
Debu berputar di udara setiap kali mereka bergerak.
Bola memantul cepat, seperti jantung yang berdebar saat seseorang merasakan cinta pertamanya.

Ardan melompat, mengarahkan bola, dan bung! bola masuk mulus.

“Siiiip! King of the court!” teriak Fikri sambil tertawa puas.

Dalam momen itu, hidup terasa sangat sederhana.
Tidak ada pelajaran sulit, tidak ada drama dengan teman, tidak ada tugas yang menumpuk.
Yang ada hanya kebahagiaan kecil yang datang dari suara tawa dan sore yang terasa enggan pergi.

Setelah selesai bermain, mereka duduk di pinggir sungai. Air mengalir pelan, memantulkan warna senja yang lembut, membuat semuanya terlihat seperti adegan film yang penuh ketenangan.

“Kalau hidup selalu kayak gini ya, Dan…” ucap Reno pelan. “Pasti enak. Nggak ada drama, nggak ada pusing.”

Ardan memandang aliran sungai, tersenyum kecil.

“Hidup itu kayak sungai, No. Kadang tenang, kadang deras. Tapi kalau di jalanin bareng-bareng, jadi lebih ringan.”

Reno dan Fikri mengangguk. Mereka paham tanpa perlu banyak kata.

Saat Ardan pulang, ibunya sudah menunggunya di depan pintu. Senyumnya hangat, seperti pelukan yang bisa menenangkan hari paling berat sekalipun.

“Main sama teman, ya, Nak?”

“Iya, Bu,” jawab Ardan sambil tersenyum bangga. “Tadi aku menang basket!”

Ibunya tertawa kecil, suara yang terdengar penuh kasih.
“Ibu senang kamu bahagia.”

Ardan tahu, di balik senyum itu ada perjuangan besar yang tidak bisa ia bayangkan. Ibunya sedang melawan penyakit yang perlahan menguras tenaga, tapi ia tetap menjadi tempat paling nyaman untuk pulang.

Tawa teman adalah angin.
Tapi pelukan Ibu adalah rumah.

Malam itu, ketika Ardan hampir tertidur, ibunya duduk di tepi ranjang dan berbisik lembut,

“Jangan hilangkan masa remajamu, Dan. Nikmati. Tertawa. Bermimpi besar. Ibu ingin melihat kamu meraih semuanya.”

Ardan menatap ibunya, matanya berkilat seperti bintang yang baru muncul.

“Aku janji, Bu. Kita akan bahagia sama-sama.”

Dan jauh di dalam hatinya, Ardan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang kuat menghadapi badai.
Hidup adalah tentang mensyukuri setiap sore yang tenang, setiap tawa yang sederhana, dan orang-orang yang selalu membuat kita ingin pulang.


Oleh : Arsakha



Saturday, December 6, 2025

Menghafal Al-Qur’an Terasa Susah? Apa Nih yang Salah?

 


Ketika santri ditanya, 

Sudah hafal berapa juz?”

“Alhamdulillah, sudah sampai juz 24”

Tapi kalau ditanya seperti ini,

“Sudah mutqin berapa juz?” 

“Emm, hehe…”

Dua pertanyaan yang sering bikin kita refleksi ya.

Bagi para penghafal Al-Qur’an, semangat ziyadah (menambah hafalan) sering kali lebih besar daripada semangat murojaahnya. Padahal, menjaga hafalan itu sama pentingnya dengan menambahnya. Orang yang malas muroja’ah mengatakan, “Hafalan lancar itu kan fadhol dari Allah.”

Eits… jangan salah!

Fadhol Allah nggak akan turun kalau kita sendiri malas nderes, malas murojaah, dan abai terhadap hafalan yang sudah Allah titipkan.

Lalu, kenapa menghafal terasa berat?

Banyak yang mengira sulitnya hafalan karena kurang waktu, kurang metode, atau karena tidak berbakat.

Padahal setelah direnungi, sering kali yang membuat hafalan terasa berat adalah niat yang kurang tepat.

Banyak santri yang mulai menghafal, menjadikan hafalan sebagai target angka, bukan sebagai bentuk ibadah. Hafalan jadi seperti tugas sekolah: harus setor, harus selesai, harus nambah. Bukan lagi ibadah yang mengalir dengan hati.

Padahal kalau kita lihat para salafusnas shalih, beliau itu menghafal dengan hati yang penuh ketundukan dan cinta pada Al-Qur’an. Mereka tidak hanya menghafal ayat, mereka menghafal sambil memurnikan niat, memperbaiki akhlak, dan menghidupkan ayat dalam kehidupan.

Yuk, Benahi Kembali niat kita dalam menghafal Al Qur’an Karena yang kita cari bukan sekadar hafalannya, tapi kedekatan dengan Allah melalui Kalam-Nya.

Sebagai penutup, bagaimanapun juga usaha yang kita lakukan dalam rangka menjaga hafalan Al-Qur’an harus diiringi juga dengan berdoa kepada Allah. Maka, disini ada do’a yang telah diajarkan oleh Abah KH. Aniq Muhammad Makki, B. Sc., MA. yang bisa diamalkan sebagai bentuk permohonan kita kepada Allah melalui wasilah Kanjeng Nabi Muhammad  ﷺ:

اللَّهُمَّ سَهِّلْ لَنَا فِيْ القُرْآنِ, فِيْ حِفْظِهٖ وَمُرَاجَعَتِهٖ وَمُدَارَسَتِهٖ وَتَعَلُّمِهٖ وَتَعْلِيْمِهٖ وَفَهْمِهٖ وَعَمَلِهٖ وَالتَّبَرُّكِ بِهٖ. وَاجْعَلْهُ شَفِيْعًا لَنَا فِيْ الدَّارَيْنِ, بِشَفَاعَةِ سَيِّدِ الثَّقَلَيْنِ. يَا رَسُوْلَ الله !!! إِنَّا نَتَوَسَّلُ بِكَ إِلٰى رَبِّنَا فِيْ قَضَاءِ حَاجَتِنَا إِشْفَعْ لَنَا, إِشْفَعْ لَنَا, إِشْفَعْ لَنَا يَا رَسُولَ الله.

Ya Allah, mudahkanlah bagi kami (segala urusan) dalam Al-Qur’an: dalam menghafalnya, mengulanginya (murāja‘ah), mempelajarinya bersama (mudārasah), mempelajarinya (ta‘allum), mengajarkannya (ta‘līm), memahaminya, mengamalkannya, dan mengambil keberkahan darinya. Jadikanlah ia sebagai pemberi syafaat bagi kami di dua negeri (dunia dan akhirat), dengan syafaat penghulu dua makhluk yang bernilai (manusia dan jin).

Wahai Rasulullah! Sesungguhnya kami bertawassul denganmu kepada Tuhan kami dalam memenuhi hajat-hajat kami. Berilah kami syafaat, berilah kami syafaat, berilah kami syafaat, wahai Rasulullah.”

Semoga Allah mudahkan lisan kita untuk membaca Al-Qur’an, hati kita untuk menjaganya, dan amal kita untuk mencerminkannya. Amiin. 


Oleh: Muhammad Abid Yakhsyallah


Tuesday, December 2, 2025

Guru yang Datang dari Hening


Senja hampir padam ketika seorang pemuda berdiri di tepi bukit yang sunyi, jauh di tengah hutan yang jarang dikunjungi manusia. Angin mengibaskan rambutnya yang kusut, sementara matanya yang merah menatap kosong ke hamparan pepohonan.

“Aku tidak sanggup lagi…” bisiknya, sebelum akhirnya ia berteriak sekuat-kuatnya, suara yang pecah oleh duka, “Mengapa Tuhan tidak adil?! Mengapa seluruh keluargaku diambil dan aku dibiarkan sendiri?! Mengapa?!”

Teriakan itu menggema ke lembah, lalu lenyap. Hening kembali menguasai bukit. Namun tak lama kemudian, terdengar langkah perlahan dari balik semak. Seorang kakek paruh baya muncul, membawa busur dan panah yang tampak tua namun terawat. Wajahnya berkerut, tetapi sorot matanya tajam seperti seseorang yang tahu jauh lebih banyak daripada yang ia ucapkan.

“Ikutlah denganku, anak muda,” katanya tanpa penjelasan.

Entah mengapa, pemuda itu menurut. Seakan ada sesuatu dalam suara si kakek yang membuatnya tidak mampu menolak. Mereka berjalan menembus semak dan ilalang, hingga tiba di sebuah celah hutan kecil. Di kejauhan, mereka melihat seekor harimau tengah mengejar rusa yang ketakutan.

Pemuda itu terpaku. Namun sebelum ia sempat berkata apa pun, sang kakek mengangkat busurnya dan, dalam satu gerakan tenang, melepaskan anak panah. Panah itu meluncur cepat, menembus tubuh harimau. Harimau itu mengaum terakhir kalinya, lalu rubuh ke tanah.

Pemuda itu tersentak. “Apa-apaan yang kau lakukan, Kek?! Mengapa kau membunuhnya tanpa alasan?!”

Kakek itu tidak menjawab. Ia hanya menatap tubuh harimau yang kini diam, lalu berkata lirih, “Datanglah ke rumahku malam nanti. Aku akan menunjukkan sesuatu.”

Malam turun perlahan. Di bawah sinar bulan yang pucat, pemuda itu menyusuri jalan setapak menuju rumah sang kakek. Bangunan itu kecil, hanya berupa satu ruangan dengan dinding kayu tua. Di bawah cahaya lampu minyak, ratusan laron beterbangan, sebagian menempel pada kaca, sebagian berjatuhan kehilangan sayap.

Ia melangkah masuk dan menemukan sang kakek duduk bersila di tengah ruangan, tenang seperti batu karang di tengah badai. “Kemarilah,” ujarnya pelan. “Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan.”

Kakek itu mengambil seekor laron yang telah kehilangan sayapnya. Serangga kecil itu merayap lemah di telapak tangannya. Tanpa ragu, sang kakek menekannya hingga tak bergerak lagi.

Pemuda itu tak mampu menahan diri. “Kek! Pagi tadi kau membunuh seekor harimau, dan sekarang kau membunuh laron yang bahkan tidak bersalah! Mengapa?!”

Sang kakek menatapnya lama. “Katakan padaku,” ujarnya lembut, “apakah tindakanku membunuh harimau itu baik?”

Pemuda itu menarik napas. “Ya… karena kau menyelamatkan rusa itu.”

Kakek itu mengangguk. “Lalu bagaimana jika harimau itu memiliki anak?”

Pemuda itu terdiam sejenak, kemudian menjawab pelan, “Kalau begitu… itu salah. Kau membuat anak-anaknya kelaparan.”

“Begitu.” Kakek itu melanjutkan, “Lalu bagaimana dengan laron yang kubunuh tadi?”

Pemuda itu menjawab cepat, “Itu pun salah. Laron itu tidak bersalah.”

Senyum tipis muncul di bibir sang kakek. “Tahukah kau, anak muda? Laron yang telah kehilangan sayap tidak akan pernah bisa berkembang biak lagi. Ia kehilangan daya tariknya. Dan meski ia mungkin hidup sampai pagi, ia tetap akan mati—dimakan semut, digerogoti perlahan tanpa daya.”

Pemuda itu menelan ludah. Ada sesuatu yang bergerak dalam dadanya, sesuatu yang ia coba hindari selama ini—pemahaman.

Sang kakek melanjutkan, “Begitu pula keluargamu. Mati tidak selalu buruk, dan hidup tidak selalu baik. Hanya Tuhan yang tahu apa yang terbaik. Kita hanya menjalani.”

Kata-kata itu membuat pemuda itu menunduk. “Terima kasih, Kek… Aku—aku mengerti sekarang.”

Kakek itu berdiri, bergerak menuju pintu dengan langkah senyap. Pemuda itu baru menyadari ketika sosok itu hampir hilang. “Tunggu, Kek!” Ia bangkit dan mengejarnya keluar.

Namun ketika ia sampai di luar gubuk, kakek itu sudah lenyap. Tidak ada jejak, tidak ada suara. Hanya angin malam yang berhembus pelan, seolah menutup tirai dari sebuah pelajaran yang tak akan pernah ia lupakan.


Oleh : Nizar


Wednesday, November 26, 2025

Belajar Dewasa Dari Mereka Yang Tak Pernah Mengeluh


 Di masa seperti sekarang, kita mulai belajar menjadi laki-laki yang benar-benar bertanggung jawab. Tapi seringkali perjalanan itu terasa berat. Ada kalanya kita mengeluh, capek, atau bahkan merasa ingin menyerah. Padahal, di rumah ada orang tua yang setiap hari bekerja keras demi keluarga, dan mereka hampir tidak pernah menunjukkan lelahnya—meski beban yang mereka pikul jauh lebih besar dari apa yang kita rasakan. Kadang sampai bikin kita mikir, “kok mereka bisa sekuat itu, ya?”

Sebagai anak, kita harus berusaha memahami keadaan tersebut. Kedewasaan bukan cuma soal umur, tapi soal cara berpikir dan sikap kita dalam menghadapi hidup. Orang yang benar-benar dewasa itu berani bertanggung jawab dan nggak lari saat masalah datang. Setiap orang pasti diberi ujian dalam hidupnya. Bahkan sejak kecil kita mungkin sudah dipertemukan dengan hal-hal yang bikin kepala mumet. Tapi begitulah takdir Allah—setiap ujian pasti punya tujuan, dan selalu ada hikmah di baliknya.

Di setiap kesulitan, ada pelajaran yang membuat kita tumbuh. Kita jadi lebih kuat, lebih teguh pendirian, dan lebih matang dalam menghadapi hidup. Semua proses ini sebenarnya sedang membentuk kita perlahan-lahan, supaya suatu hari nanti kita bisa berdiri kokoh—bukan hanya untuk diri kita sendiri, tapi juga untuk keluarga yang sudah berjuang keras tanpa banyak kata.

Oleh : Nizam


Friday, November 21, 2025

Di Titik Gelisah Tempat Allah Menyembunyikan Petunjuk

 



ketika hati nathan mulai bertanya: “apakah jalan ini memang benar untukku?”

ada masa ketika hidup terasa berat tanpa alasan yang benar-benar jelas. bukan karena langkah yang ditempuh salah, tapi karena hati sedang berusaha memahami apa yang sebenarnya Allah arahkan untuknya.


belakangan ini, Nathan sering merasakan gelombang rasa yang datang tiba-tiba.

pertanyaan-pertanyaan itu kembali bermunculan:

 “kenapa perasaan ini selalu muncul?”

“apa pilihan yang kuambil selama ini benar?”

“atau mungkin aku sebenarnya sedang berjalan di jalur yang bukan seharusnya?”

setiap kali ada masalah kecil datang, rasa tidak nyaman itu ikut hadir.

seolah hatinya menggoyahkan keputusan yang pernah ia pegang kuat.


padahal dulu, Nathan sudah membayangkan perjalanan hidup yang sedikit berbeda ingin mencoba sesuatu yang baru, membuka langkah ke arah yang belum ia sentuh sebelumnya.

tapi rencana itu memudar seiring waktu, seperti angan yang perlahan hilang sebelum sempat diwujudkan.


percakapan Batin Nathan


kadang Nathan berbicara dengan dirinya sendiri…


nathan:

“kenapa ya hati ini gelisah terus? padahal aku sudah berusaha sebaik mungkin.”


hatinya:

“mungkin bukan karena salah pilih… mungkin kamu hanya belum benar-benar jujur dengan apa yang kamu rasakan.”


nathan:

“tapi kenapa setiap ada masalah kecil saja rasanya seperti dipertanyakan ulang? apa ini tanda bahwa jalanku salah?”


hatinya:

“tidak selalu. kadang Allah memakai kegelisahan untuk membuatmu lebih peka, lebih matang, lebih dekat.”


nathan terdiam.

merenung lama.

mencoba memahami apa yang ingin hatinya sampaikan…


Ketika Nathan Menyerahkan Pertanyaannya pada Allah


di ujung kegelisahan, Nathan kembali menyusun doa yang sama—doa yang ia gumamkan pelan saat dunia terasa terlalu bising:


ya Allah…

engkaulah yang membolak-balikkan hati.

jika jalan ini memang engkau ridhoi, maka tenangkanlah langkahku.

jika ini bukan jalanku, maka tunjukkanlah arah yang lebih Engkau pilihkan,

dan belokkan aku dengan lembut menuju kebaikan-Mu.

nathan percaya, apapun yang terjadi dalam hidupnya tidak pernah luput dari rencana Allah.

namun sebagai manusia, wajar bila ia ragu.

wajar bila ia merasa tidak nyaman.

wajar bila ia bertanya dalam diam,

dan bingung di persimpangan yang ia ciptakan sendiri.

mungkin ini bukan tentang salah atau benar.

mungkin ini tentang pertumbuhan.

tentang dibimbing.

tentang dipersiapkan untuk sesuatu yang lebih baik.

dan bisa jadi… jalan yang terasa berat hari ini justru sedang membuka pintu menuju sesuatu yang selama ini ia panjatkan dalam doa.


Oleh : Azka


Tuesday, November 18, 2025

Malam yang Membungkam Segala Napas


 Di sebuah pondok besar di Semarang, Pondok Al-Fadhilah, tinggal seorang santri bernama Putra. Awalnya hidupnya berjalan seperti denyar lampu neon di malam hari—tenang, teratur, dan tak pernah memberi tanda akan padam. Rutinitas hariannya sederhana: mandi sebelum subuh, nongkrong di warung setelah sekolah, olahraga sore hari, dan bercerita horor bersama teman-temannya sebelum tidur. Ironisnya, cerita horor itu kelak seperti ramalan yang ia ciptakan sendiri.

Setelah hampir sembilan bulan tinggal di pondok, Putra mulai merasakan sesuatu yang ganjil. Perasaan itu seperti angin dingin yang tak terlihat, tapi selalu berhasil menyentuh tengkuk. Namun, ia memilih diam, menyimpan keganjilan itu seperti orang menyimpan surat yang tak ingin dibuka kembali.

Sampai akhirnya, pada suatu malam, keganjilan itu berubah menjadi teror nyata.

Ketika hendak pergi ke kamar mandi di lantai satu, lorong pondok terasa lebih sunyi dari biasanya. Sunyi yang bukan sekadar sepi, tapi seperti ada sesuatu yang sedang menahan napas. Dari kejauhan, Putra melihat bayangan berlari cepat dari satu lorong ke lorong lain—cepat seperti kilat yang tidak sempat menyentuh tanah. Ia mencoba mengabaikan, walaupun dadanya berdebar seperti pintu tua yang diketuk terlalu keras.

Saat masuk ke kamar mandi, suasana berubah lebih dingin lagi. Tiba-tiba BRAG! BRAG! BRAG!—pintu digebrak dari luar, keras dan berulang-ulang, seperti ada makhluk yang ingin memecahkannya dengan tangan kosong. Tubuh Putra gemetar hebat. Setiap gebrakan terdengar seperti dentuman palu yang memukul nyalinya satu per satu. Dengan sisa keberanian yang gelap-gelap terang, ia memutuskan keluar.

Namun, di luar tidak ada seorang pun. Hanya lorong panjang yang terasa seperti tenggorokan raksasa yang menelan hawa dingin.

Putra berlari menuju lantai tiga. Tetapi, ketika melewati lantai dua, ia melihatnya—sesosok makhluk tak kasatmata, samar, namun keberadaannya terasa lebih nyata daripada napasnya sendiri. Sosok itu berdiri diam, seakan menunggu. Dalam sekejap, Putra lari seperti seseorang yang baru sadar sedang dikejar bayangannya sendiri.

Sesampainya di kamar, Putra makin bingung. Kamar itu kosong. Sunyi. Seolah-olah pondok sedang menghapus jejak penghuninya. Ia segera turun ke taman belakang, tempat teman-temannya biasa nongkrong. Dan benar, semua temannya ada di sana… tetapi mereka tertidur pulas, terlalu pulas… seperti boneka yang disusun rapi tanpa roh.

Panik, Putra mencoba membangunkan mereka satu per satu. Tidak ada yang bergerak. Tidak ada yang bernapas lebih cepat. Tidak ada yang memberi tanda kehidupan. Mereka kaku seperti malam yang kehilangan bulan.

Saat Putra hendak membangunkan teman terakhir, sebuah rasa dingin merayap dari belakang, seperti tangan es yang menyentuh tulang belakangnya. Sebelum ia sempat berbalik—

Makhluk itu menyerangnya.

Sebuah rasa sakit menusuk dadanya, panas dan tajam, seperti ditusuk ribuan jarum sekaligus. Putra menjerit,
“AAAHHH… SAKITTT—!”

Dan dalam sekejap, teriakan itu padam.
Seperti lilin yang dipadamkan oleh angin yang tak tahu dari mana datangnya.

Nyawa Putra hilang malam itu.
Dan pondok kembali sunyi. Sunyi yang terasa… menunggu giliran berikutnya.


Oleh : Muktafin

Friday, November 14, 2025

Ketika Dunia Hanya Persinggahan


Di hamparan waktu yang kian menua,
aku berjalan di atas debu fana.
Langkah-langkah kecil menapaki cerita,
di bumi yang bukan rumah selamanya.

Ada tawa yang cepat sirna,
ada tangis yang tak lama berkuasa.
Segalanya berganti seindah apa pun rupa,
karena dunia hanyalah sementara.

Aku pernah terpikat oleh gemerlapnya,
oleh pujian, oleh pangkat, oleh harta.
Namun sunyi di hati tak juga reda,
hingga kuingat: tujuan ini bukan di sini semata.

Di balik langit ada rumah abadi,
di sana tak ada lelah dan tak ada sedih lagi.
Hanya damai di bawah kasih Ilahi,
tempat hati pulang dengan tenang dan suci.

Maka kini aku ingin belajar rela,
meninggalkan dunia tanpa nestapa.
Sebab yang kekal bukan yang terlihat mata,
melainkan amal yang dijaga oleh-Nya.