Thursday, August 21, 2025

Mondok tapi Mager? Rugi Dong!

      

         Hai sobat-sobat santri! Bagaimana kabar kalian? Semoga sehat selalu yak..

    Siapa disini yang sudah krasan mondoknya? Mondok itu seru bukan? Saking nyamannya kehidupan di pondok sampai tidak kerasa sudah bertahun-tahun menimba ilmu di pondok pesantren. 


    Coba kita instrospeksi diri, sudah berapa lama waktu mondok dan apa kegiatan kita sehari hari. Apakah kita di pondok memanfaatkan waktu yang ada? Atau malah hanya membuang-buanng waktu? Memang ada riwayat yang kurang lebih "sengganggur-ngganggurnya kita di pondok itu tetap dapat rahmat dari Allah karena masih dihitung sebagai seseorang yang tholibul ilmi". Tapi, mau sampai kapan kita pakai dalil itu? Bukankah lebih baik lagi kalau di pondok memanfaatkan waktu sebaik-baiknya.


    Pesantren bukan hanya tempat untuk tidur, makan, lalu menunggu waktu pulang. Mondok adalah kesempatan emas untuk menimba ilmu, melatih kemandirian, dan menempa diri agar menjadi pribadi yang matang secara akhlak dan wawasan. Sayangnya, tidak sedikit santri yang justru menyia-nyiakan waktu dengan mangan turu tok (makan tidur saja), sehingga potensi besar yang ada di pesantren terlewat begitu saja. Maka simaklah poin-poin penting dibawah ini.


1. Pesantren: tempat pembentukan karakter

    Di Pondok Pesantren, santri belajar tentang Akhlak, Khidmah kepada guru atau kyai, kitab kuning, menghafal Al-Qur’an, berlatih berorganisasi, dan lain-lain. Semua ini menjadi bekal yang akan sangat berharga di masa depan. Jika waktu di pesantren hanya dihabiskan untuk tidur, berarti kita sedang menutup pintu terhadap kesempatan belajar yang luas.


2. Waktu di Pesantren itu Terbatas

    Rata-rata masa mondok hanya beberapa tahun. Setelah keluar, santri akan kembali ke masyarakat, sibuk dengan pekerjaan, kuliah, atau rumah tangga. Saat itu, kesempatan belajar intensif seperti di pesantren sudah jarang ditemukan. Sayang sekali kalau momen ini dihabiskan untuk bermalas-malasan, apalagi cuma untuk mabar.


3. Tidur Itu Perlu, Tapi…

    Tidur memang bagian dari kebutuhan manusia. Tapi, kalau tidur sudah menjadi kegiatan utama santri, jelas ini bukan lagi istirahat, melainkan kemalasan. Ingat pepatah Arab:


 "الوقت كالسيف إن لم تقطعه قطعك"  

"Waktu itu bagaikan pedang, jika tidak digunakan untuk memotong, ia akan memotongmu."


4. Manfaatkan Fasilitas dan Lingkungan

    Pesantren punya banyak hal yang tidak semua orang bisa rasakan:

-Ilmu langsung dari guru yang sanadnya jelas.

-Lingkungan dan suasana religius yang mendukung ibadah.

-Kebersamaan dengan sesama santri yang melatih kerja sama dan empati.

-Kegiatan positif yang padat dan tersusun rapi seperti ngaji Al Qur'an, sorogan kitab kuning, musyawarah fiqhiyyah, hingga bersih-bersih lingkungan pondok.

Kalau semua itu dilewatkan hanya karena malas, berarti kita sendiri yang merugi.


Pada akhirnya, tulisan ini sebenarnya sebagai tamparan keras bagi kita semua, khususnya penulis sendiri. Mondok adalah masa emas yang tidak akan terulang. Mari kita gunakan waktu sebaik-baiknya untuk belajar, beribadah, dan memperbaiki diri. Jangan sampai nanti kita menyesal sambil berkata: “Dulu waktu mondok, kok aku cuma mangan turu tok ya?”

Ingat, makan, tidur itu perlu, tapi jangan sampai hidup kita di pesantren hanya diisi dengan itu. Rugi besar!


Sekian, selamat mengamalkan ya sobat-sobat..


Oleh : Ustadz Abid Yakhsyallah.


Friday, August 15, 2025

Kunjungan Al Habib Hasyim bin Abdrurrahman Alaydrus (Pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman)

    Selasa, 12 Agustus 2025, Al Habib Hasyim bin Abdrurrahman Alaydrus (pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman) dengan anugerah Allah dapat mengunjungi Pondok Pesantren Putra Al Fattah Kudus.

    Habib Dr. Hasyim bin Abdurrahman Al-Idrus adalah seorang ulama yang berasal dari Tarim, Hadramaut. Beliau menempuh pendidikan di berbagai tempat, dimulai dari berguru kepada Habib Muhammad bin Abdullah Al-Haddar di Baidha’, yang juga merupakan guru dari Habib Umar bin Hafidz, menjadikan beliau berdua berada dalam satu perguruan. Setelah itu, beliau melanjutkan pendalaman ilmunya di Darul Mustofa yang dipimpin oleh Habib Umar bin Hafidz.

    Beliau melanjutkan pendidikan ke Mesir, di mana beliau meraih gelar sarjana dan magister di Universitas Al-Azhar Asy-Syarif dengan fokus pada tafsir dan ilmu Al-Qur’an. Di sana, beliau juga mendapatkan sanad qira’ah ‘asyrah sughra dan kubra serta berbagai ijazah kitab. Studi doktoral beliau selesaikan di Universitas Az-Zaitunah, Tunisia, di bidang ilmu Al-Qur’an, dengan mengulang program magister di jurusan yang sama, dan beliau lulus dengan predikat mumtaz ma’a martabah syaraf (sempurna dengan sangat mulia). Beliau juga pewaris sanad Al-Qur’an urutan ke-29 dari Rasulullah ﷺ.

Jabatan:

1. Pendiri dan pengasuh Ma’had Al Budur Fii ‘Uluumil Qur’an Tarim, Yaman.

2. Pendiri dan pemimpin Qismut Tahfidz Qur’an di Ma’had Darul Musthofa Tarim, Yaman.

3. Ketua dan pembina Halaqah Qira’ah Sab’ah, ‘Asyrah Sughra Kubra di Ribath Ilmi Asy-Syarif Seiwun, Yaman. (1435 H).

4. Ketua Qismut Tafsir wa ‘Ulumil Qur’an di Universitas Al-Wasathiyyah Asy-Syar’iyyah Hadramaut, Yaman.

5. Anggota Majlis Ifta’ di Ribath Ilmi Asy-Syarif Seiwun dan Darul Faqih Tarim, Yaman.

Dalam tausiyahnya, Al Habib Hasyim menjelaskan beberapa poin utama:

1. Fath dan Al-Qur’an

    Beliau menjelaskan bahwa nama pondok kita – Al Fattah – berasal dari shigat mubalaghah (lafal yang menunjukkan makna hiperbola). Demikian juga merujuk pada asma Allah Al-Fattah yang berarti “Maha Pembuka,” yang banyak membukakan pintu-pintu kebaikan. Beliau menekankan bahwa cara terbaik untuk mendapatkan futuh atau pembukaan dari Allah adalah melalui Al-Qur’an.

    Fath ini bisa terwujud dalam bentuk pemahaman ilmu yang mudah, kelancaran dalam menghafal Al-Qur’an, dan ketenangan hati. Beliau memberikan contoh dari Al-Qur’an surah ke-48, yaitu surah Al-Fath yang bermakna kemenangan. Surah ini turun saat terjadi Perjanjian Hudaibiyah yang menjadi jalan bagi Allah untuk menganugerahkan kemenangan bagi umat Islam.

    Intinya, dibalik semua kejadian Perjanjian Hudaibiyah, hikmah yang dapat kita ambil adalah bahwa fath atau kemenangan akan turun ketika kita bersabar, karena pertolongan Allah berada bukan pada masa-masa senang dan santai kita, melainkan di masa-masa sulit.

    Sehingga, kalau kalian saat ini belajar dalam masa yang sulit, jauh dari orang tua, makannya sedikit, atau bahkan tidak ada makan, ya sabar. Karena orang yang sabar menghadapi kesulitan seperti itu dalam masa belajarnya, Allah akan memberikan dia futuh, Allah akan memberikan pembukaan terhadap ilmu-ilmunya. Tetapi kalau pekerjaannya tidur–makan, tidur–makan, ya dari mana mau di-futuh?

    Jadi, futuh juga dimulai dari diri sendiri. Di sini beliau juga mengajarkan bahwa ketika engkau berada dalam kesulitanmu, barangkali itu jalan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memberikan kepadamu futuh tersebut.

    Dan jika Allah sudah membukakan seseorang lewat Al-Qur’an, maka ia akan diberi pemahaman yang tiada batasnya, seperti halnya lautan yang tak bertepi. Adapun ilmu-ilmu yang lain diibaratkan sungai-sungainya.

    Setiap kita banyak membaca Al-Qur’an, Allah akan memberikan pemahaman yang baru, dan semakin banyak serta semakin sering mengulang Al-Qur’an, maka semakin besar pula pemberian Allah. Seperti yang dikatakan Al-Imam Asy-Syatibi:

وَإِنَّ كِتَابَ اللهِ أَوْثَقُ شَافِعٍ … وَأَغْنَى غَنَاءٍ وَاهِباً مُتَفَضِّلَا

“Dan sesungguhnya Kitab Allah (Al-Qur’an) adalah pemberi syafaat (penolong) yang paling kuat, dan merupakan harta karun pemberian yang tak akan ada habisnya dalam memberi kekayaan dan karunia.”

    Bagaimana ciri-ciri kita -orang Indonesia- memperoleh futuh yang kesehariannya tidak berbahasa Arab? Yaitu, pertama, kita mendapat ketenangan hati dan kenyamanan ketika membaca serta mengulang-ulangnya tanpa ada rasa bosan. Kemudian, tingkat kedua adalah memperoleh pemahaman maknanya.


2. Keutamaan Ahlul Qur’an

    Habib Hasyim menyebutkan bahwa orang yang menjadi Ahlul Qur’an memiliki kedudukan yang sangat mulia, bahkan disebut sebagai keluarga Allah. Kedudukan ini lebih agung daripada garis keturunan mana pun.

    Al-Qur’an, menurut beliau, adalah warisan dari Allah yang diberikan kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih. Warisan Allah ini berbeda dari yang lain, karena semakin banyak seseorang membaca atau menghafal, semakin banyak pula warisan spiritual yang didapatnya. Maka ambillah warisan ini dengan sebaik-baiknya.

    Dan nasihat beliau kepada kita semua adalah:

عَظِّمُوا الْقُرْآنَ وَعَظِّمُوا أَهْلَ الْقُرْآنِ

“Agungkanlah (dengan penuh penghormatan) Al-Qur’an, begitu juga kepada guru-guru kita.”


3. Adab kepada Guru

    Poin terakhir yang ditekankan adalah adab atau etika kepada guru. Beliau menyampaikan bahwa guru lebih mulia dari ayah kandung karena guru membimbing ruh menuju Allah, sementara ayah hanya memelihara jasad.

    Berbakti kepada guru dianggap sebagai bagian dari berbakti kepada orang tua. Bentuk penghormatan utama adalah dengan menuruti perintah, mendoakan, dan menjaga adab.

    Habib Hasyim juga menyampaikan bahwa beradab kepada guru akan membuahkan hasil di mana murid-murid kita di masa depan juga akan beradab baik kepada kita. Sebagaimana jika kita berbakti kepada kedua orang tua, kelak anak-anak kita juga akan berbakti kepada kita.


Oleh : Tim Litbang.

Thursday, August 14, 2025

Tirakat di Era Digital: Menemukan Sunyi Ditengah Derasnya Notifikasi

Dulu, di sudut-sudut pesantren, tirakat adalah laku diam yang sarat makna.

Para santri muda berlatih menahan lapar, menjaga mata dari tidur, dan bersimpuh di malam-malam sunyi untuk mencari jawaban yang tidak tertulis di kitab dan tidak ditemukan di mesin pencari.

Tirakat bukan untuk pamer kesalehan, melainkan upaya menyentuh sesuatu yang jauh di dalam hati—sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan kuota internet dan tidak mungkin didapat hanya dengan scrolling.

Kini, suasana itu berubah.
Kita lapar bukan karena puasa, tapi karena lupa makan akibat terlalu lama bermain ponsel.
Kita terjaga bukan karena dzikir malam, tapi karena menonton tayangan sampai dini hari.
Kita diam, namun bukan dalam kontemplasi, melainkan karena lelah—pikiran kusut, hati kosong, mental lemah.

Zaman memang silih berganti, tetapi kegelisahan tetap sama. Bedanya, bentuknya berubah mengikuti zaman.

Kita hidup di tengah riuhnya notifikasi, chat, dan komentar yang tak kunjung usai.
Namun, anehnya, justru di tengah keramaian itu, banyak orang merasa makin sepi, makin kosong, makin mudah cemas, mudah iri, mudah letih—meski fisiknya tak ke mana-mana.

Banyak yang mencoba menenangkan diri: ada yang mendengarkan ASMR, ikut kelas meditasi, rehat sejenak dari media sosial, bahkan bepergian ke gunung atau laut.

Namun sering kali, semua itu hanya memberi ketenangan sementara. Rasa resah itu kembali datang, seakan menunggu di depan pintu.

Mengapa demikian? Banyak yang merasa sendiri meski ribuan followers menemani. Karena luka batin tidak bisa diobati dengan like, komentar, atau scroll. Ia butuh jeda. Ia butuh riyadah. Ia butuh… tirakat.

Tirakat di masa kini tentu tidak harus persis seperti para kiai dan sesepuh dahulu yang tidur di langgar, makan seadanya, atau berbulan-bulan dalam laku tapa.

Tapi kita bisa ngambil ruh-nya: menepi untuk mengerti diri. Menepi, bukan karena kabur. Tapi karena ingin pulang — pada batin yang tenang.

Tirakat zaman ini bisa berarti puasa dari hal-hal yang membuat batin keruh:

  • Puasa mencari validasi.

  • Puasa haus eksistensi.

  • Puasa dopamin dari notifikasi dan feeds.

Bentuknya pun sederhana: mematikan ponsel di jam tertentu, duduk diam tanpa distraksi, atau berani berkata jujur, “HARI INI AKU TIDAK PERLU TAHU SEMUA HAL. AKU HANYA INGIN WARAS.”

Maka, di tengah zaman yang bising ini, mungkin sunyi adalah satu-satunya suara yang layak kita dengarkan.

Karena kadang, untuk sembuh, kita tidak butuh banyak hiburan. Kita hanya perlu berhenti sejenak, mengambil napas panjang, dan duduk bersama hati kita sendiri, membaca kalam ilahi, untuk menggapai ketengangan hakiki.

"TIRAKAT BUKAN JADUL. IA JALAN PULANG. IA BUKAN SEMATA JAWABAN. TAPI KEBUTUHAN MENGAHADAPI ZAMAN."

Jika hidup kita terasa larut dalam arus digital, barangkali ini saatnya kita menata diri.
Bukan untuk mundur, tetapi untuk berdiri kembali—lebih tegak, lebih tenang.

Oleh: M. Muktafin Arzaqina - dibantu Tim Litbang.

Sunday, August 10, 2025

Seni Berargumen

    

    Setiap orang bisa memiliki ide dan pemahaman mereka masing-masing. Tapi, tidak semua orang dapat menyampaikan ide dan apa yang mereka pahami dengan cara yang baik. Dalam penyampaian argumen yang baik, terdapat empat komponen dasar yang harus dipenuhi. Keempat komponen ini menjadi struktur fundamental dalam pembuatan argumen yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Empat komponen itu adalah: 

   ` 1. Tesis. Seseorang yang ingin menyampaikan berargumen haruslah memiliki tesis. Ada ide gagasan yang disampaikan. Berbeda dengan makna tesis secara umum, tesis yang dimaksud dalam definisi ini adalah pernyataan yang memerlukan penjelasan lebih lanjut untuk bisa dinilai kebenarannya. Contoh: Berisik pada waktu malam hari adalah perbuatan yang dilarang. Pernyataan ini masih harus melalui beberapa tahap untuk dapat dinilai benar ataupun tidaknya.

    2. Menentukan definisi dan indikator yang diperlukan oleh tesis. Ketika seseorang telah menentukan tesis, langkah selanjutnya adalah menentukan definisi. Apa yang seseorang tadi maksudkan dari tesis yang ia sampaikan. Hal ini diperuntukkan untuk menyamakan pemahaman penyampai tesis dengan penerimanya. Jika merujuk pada tesis "berisik pada waktu malam hari adalah perbuatan yang dilarang" maka hal yang harus didefiniskan adalah makna dari kata berisik. Apa saja yang termasuk kategori berisik dan apa yang tidak masuk dalam koridor definisinya. Setelah selesai menetapkan definisi, langkah selanjutnya adalah menentukan indikator-indikatornya. Contohnya, Apa saja hal-hal yang dilarang pada saat malam hari, kenapa hal tersebut dilarang dilakukan, dan semacamnya.

    3. Langkah selanjutnya dalam penyusunan argumen yang baik adalah penyajian bukti atau data pendukung. Setelah penyampai gagasan memberikan definisi dan menentukan indikator-indikator tesisnya, maka selepasnya adalah tahap penyampaian bukti pendukung atas indikator yang sudah ditetapkan. Misal, berisik pada waktu malam dilarang karena dapat mengganggu istirahat orang lain. Penyampai argumen dapat menyajikan data atau fakta lapangan yang menunjukkan bahwa memang berisik pada malam hari dapat mengganggu istirahat orang lain.

    4. Kesimpulan. Tahap ini mudahnya cuman berupa penyampaian ulang dan closing statement untuk menguatkan tesis yang disampaikan.

    Empat komponen inilah yang menjadi basic seseorang membuat argumen yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Meskipun dalam prakteknya, penyampai argumen tidak melulu harus terpaku pada urutan struktur ini, ia dapat menginovasikan empat komponen ini sesuai dengan style dirinya sendiri.

Oleh: Ustadz Rafly.

Thursday, August 7, 2025

Jangan Sampai Berangkat Sholat Jumuah Salah Niat

 


Besok hari jumuah, teman-teman laki-laki sekalian pasti senang. Karena di hari itu, kalian tidak perlu pusing-pusing memikirkan makan siang. 

Benar, kan? 

Tapi teman-teman, masak kalian berangkat sholat Jumuah hanya untuk mendapatkan makan siang gratis? Kayak orang yang nyoblos Prabowo aja. 

Kalau begitu, kalian salah besar. Niat itu vital. Seperti yang disabdakan Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam, 

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَِى اللهِ وَرَسُوْلِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا، أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا، فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ

“Amalan-amalan itu hanyalah tergantung pada niatnya. Dan setiap orang itu hanyalah akan dibalas berdasarkan apa yang ia niatkan. Maka barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya keapda Allah dan Rasul-Nya. Namun barang siapa yang hijrahnya untuk mendapatkan dunia atau seorang wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia niatkan tersebut.”

Selain memperbaiki niat, teman-teman juga harus semangat melaksanakan sholat Jumuah. Jangan malah berangkat telat, duduk paling belakang, mencari posisi strategis supaya tidak kalah saing dengan bocah-bocah kecil.

Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam bersabda,

مَنْ رَاحَ إِلَى الْجُمُعَةِ فِي السَّاعَةِ الْأُوْلَى فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَدْنَةً وَمَنَ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّانِيَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ بَقَرَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الثَّالِثَةِ فَكَأَنَّمَا قَرَّبَ كِبَشًا أَقْرَنَ وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الرَّابِعَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى دَجَاجَةً وَمَنْ رَاحَ فِي السَّاعَةِ الْخَامِسَةِ فَكَأَنَّمَا أَهْدَى بَيْضَةً فَإِذَا خَرَجَ الْإِمَامَ طُوِيَتِ الصُّحُفُ وَرُفِعَتِ الْأَقْلَامُ وَاجْتَمَعَتِ الْمَلَائِكَةُ عِنْدَ الْمِنْبَرِ يَسْتَمِعُوْنَ الذِّكْرَ فَمَنْ جَاءَ بَعْدَ ذَلِكَ فَإِنَّمَا جَاءَ لِحَقِّ الصَّلَاةِ لَيْسَ لَهُ مِنَ الْفَضْلِ شَيْءٌ

“Siapa saja yang berangkat shalat Jumuah pada jam pertama, seakan-akan berkurban dengan seekor unta. Siapa saja yang berangkat pada jam kedua, seakan-akan berkurban dengan seekor sapi. Siapa saja yang berangkat pada jam ketiga, seakan-akan berkurban dengan kambing bertanduk. Siapa saja yang berangkat pada jam keempat, seakan-akan menghadiahkan seekor ayam jantan. Siapa saja yang berangkat pada jam kelima, maka seakan-akan menghadiahkan sebutir telur. Setelah imam keluar, maka catatan amal sudah ditutup, qalam pencatat (Baca : Catatan amal) sudah dianggap, dan para malaikat berkumpul di minbar untuk mendengarkan zikir. Siapa saja yang datang setelah itu, maka ia datang hanya untuk memenuhi hak shalat dan tidak mendapatkan keutamaan apa-apa." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Dan juga teman-teman bisa meniatkan apa yang telah diniatkan oleh para salafushsholih, sehingga  sholat jumuah kita akan semakin semakin ber-value disisi Allah. Gitu guys..

Jadi, tidak hanya untuk mendapatkan nasi kotak, kita bisa mendapatkan kurban unta. Dan jangan lupa, kita juga harus bisa mendapatkan ridha Allah. Ya guys yaa, jangan lupa diamalkan, okee..

Oleh: K-San.

Sunday, August 3, 2025

Jadilah Diri Sendiri, Ongkosnya Lebih Murah!


    Belajar filosofi "Anglaras Ilining Banyu" dari Sunan Kalijaga agar dapat mengikuti perkembangan zaman (termasuk media sosial) tanpa kehilangan identitas dan autentisitas diri. Menemukan rahasia untuk tetap menjadi diri kita yang sejati, tidak terseret arus, dan mencapai kesuksesan hakiki.

    Di sini kita akan membahas dan memahami lebih dalam tentang konsep “Self & Persona” yang disampaikan oleh Dr. H. Fachruddin Faiz, S.Ag, M.Ag. (seorang penulis dan juga dosen UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta). Beliau menuturkan bahwasanya di dalam dunia psikologi terdapat sebuah konsep “Self & Persona” yang dikaitkan dengan pemikiran Carl Gustav Jung, seorang pakar psikologi asal Swedia. Pemahaman mudahnya, Self ialah diri sejati yang berupa watak asli dari seseorang, sedangkan Persona ialah topeng sosial atau pencitraan yang ditampilkan agar orang lain puas dengan kita. Aksi dari Persona ialah menampakkan hal-hal yang cenderung kontradiktif dengan kenyataan yang ada atau pencitraan. Jadi antara kenyataan dan hal yang ditampilkan tidaklah sinkron. Hal yang mendasari terjadinya fenomena tersebut ialah rasa takut atas respon publik terhadap diri kita karena dianggap tidak pantas atau tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Yang dapat mengetahui apakah itu termasuk kategori Self atau Persona adalah diri kita sendiri dan mungkin orang-orang terdekat kita. Apakah itu murni dorongan dari diri sendiri, ataukah itu dorongan dan pengaruh dari luar hanyalah diri kita sendiri yang tahu. 

    Cara membedakan apakah itu termasuk Self atau Persona ialah dengan menanyakan ke diri sendiri. Kita melakukan hal tersebut karena memang ingin melakukannya (demi kebaikan kita) atau hanya agar orang-orang mengetahui bahwa kita melakukan hal tersebut (pencitraan). Jika hati kita menjawab, “Tidak”, kemungkinan besar itu hanyalah Persona. Namun jika kita melakukan suatu hal untuk menunjukkan bahwa kita sebenarnya ingin benar-benar menjadi seperti itu tapi sayangnya belum bisa, maka bisa jadi itu adalah Becoming (baca : Proses). Persona dan Becoming tidaklah sama. Persona cenderung tidak mengakui dirinya yang sekarang,dengan menampilkan dan mengakuisisi kepribadian lain. sedangkan Becoming itu mengakui dirinya yang sekarang disertai komitmen untuk berubah dan berproses menuju diri yang ia inginkan, atau pengharapan.

“Berpikir itu sulit, itulah mengapa kebanyakan orang lebih suka menghakimi.” 

-Carl Gustav Jung.


Oleh: FRDN ZYDL.

Friday, July 25, 2025

Ringkasan Mauidhoh Abah KH. Aniq Muhammad Makki, B. Sc., MA. Pada Acara Haul Mbah Panggung

Allah itu menyebarkan dan barakahnya kepada orang-orang mulia, khususnya para wali. Rahmat dan barakah yang Allah titipkan kepada para wali itu bukan hanya ketika para wali itu masih hidup, bahkan ba‘da al-wafat pun itu masih bisa diambil barakahnya. Dijelaskan di dalam kitabnya Syaikh Ihsan Jampes yaitu kitab 'سِرَاجُ ٱلطَّالِبِينَ عَلَىٰ مِنْهَاجِ ٱلْعَابِدِينَ', beliau menukil kalam Syaikh Ahmad Zaini Dahlan:

.قَدْ صَرَّحَ كَثِيرٌ مِنَ الْعَارِفِينَ أَنَّ الْوَلِيَّ بَعْدَ وَفَاتِهِ تَتَعَلَّقُ رُوحُهُ بِمُرِيدِيهِ، فَيَحْصُلُ لَهُم بِبَرَكَتِهِ أَنْوَارٌ وَفُيُوضَاتٌ

"Orang-orang yang sudah mencapai maqām ma‘rifat terhadap Allah itu berkata: para wali itu ketika sudah wafat justru ikatan batinnya terhadap murid-muridnya itu lebih kuat daripada ketika beliau-beliau masih hidup."

Maka tidak aneh, sering terjadi seorang kiai, seorang wali yang sudah wafat, kemudian nurnya atau berkah bisa dirasakan oleh murid-murid beliau. Di dalam kalamnya Al-Imam ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Ḥaddad, beliau dengan jelas berkata demikian:

.ٱلْوَلِيُّ يَكُونُ إعْتِنَاؤُهُ بِقَرَابَتِهِ وَاللَّائِذِينَ بِهِ بَعْدَ مَوْتِهِ أَكْثَرَ مِنِ ٱعْتِنَائِهِ بِهِمْ فِي حَيَاتِهِ

Artinya: para wali itu ketika sudah meninggal, justru perhatian mereka atau didikan mereka dari alam barzakh lebih kuat daripada ketika beliau-beliau masih hidup di dunia. Kenapa? Karena:

.لِأَنَّهُ كَانَ فِي حَيَاتِهِ مَشْغُولًا بِٱلتَّكْلِيفِ، وَبَعْدَ مَوْتِهِ طُرِحَ عَنْهُ ٱلْأَعْبَاءُ وَتَجَرَّدَ

Para wali-wali itu ketika masih hidup, kesibukan dunia mereka banyak, apalagi ruhnya masih nyambung dengan jasad, maka jarang sekali ada cerita wali itu bisa berada di beberapa tempat dalam satu waktu tidak semua orang.

Maka justru perhatian beliau-beliau kepada kita, ketika masih hidup tidak terlalu banyak. Namun setelah wafat, seperti yang dijelaskan Al-Imam ‘Abdullah bin ‘Alawi al-Ḥaddad, justru mereka terlepas dari basyariyahnya, terlepas dari sifat dunianya, akhirnya perhatian dari alam barzakh itu malah lebih kuat. Maka tidak aneh karena kita golongan Ahlussunnah wal Jama‘ah, terkhusus golongan Nahdlatul ‘Ulama’, itu sangat ditekankan untuk berziarah kubur. Karena kita semua ber‘itiqad, yakin bahwasanya para wali itu belum wafat, hanya jasadnya saja yang meninggal, namun ruhaniyahnya selalu membersamai kita, ruhaniyahnya masih mendidik kita semua.

Pada akhirnya banyak sekali orang-orang setelah melaksanakan ziarah kubur merasa hajat-hajatnya terkabul dan urusan-urusannya dipermudah. Namun apakah kita tega menempatkan para wali dan para ulama yang sudah wafat hanya sebatas di maqam (baca : kedudukan) sebagai perantara pengabul doa kita (yang kita tawassuli) saja? 

Jika kita mengingat hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

.كُنْتُ نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُورِ أَلَا فَزُورُوهَا

Hadis Nabi melalui riwayat Muslim, beliau berkata: "Dulu aku pernah melarang kalian semua untuk ziarah kubur, namun sekarang berziarahlah."

Terusan hadis yang diriwayatkan Imam at-Tirmizi:

.فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ ٱلْآخِرَةَ

Kenapa Nabi memerintahkan untuk ziarah kubur? Karena ziarah kubur itu mengingatkan kita terhadap akhirat. Kemudian, ziarah yang seperti apa yang bisa mengingatkan kita terhadap akhirat? Di dalam kitab أَفْصَحُ الِّسَان dijawab:

Ziarah yang bisa mengingatkan kita ke akhirat itu tergantung kondisi sahib al-maqbarah (kondisi orang yang diziarahi), karena orang yang diziarahi ini ada kemungkinan tiga macam golongan.

1. Yang pertama: ziarah kepada orang-orang yang terkenal kejelekannya, orang-orang ahli maksiat, tidak shalih sama sekali. Lalu mengapa diziarahi? Karena:

.فَالْحَوْلِيَّةُ أَوْ فَالزِّيَارَةُ لِهَذِهِ الْأَشْخَاصِ تَتَضَمَّنُ مَعْنَى التَّرْهِيبِ

Ziarah ke orang-orang jelek itu ada maknanya, yaitu kita harus hati-hati, jangan sampai mati kita dalam keadaan jelek seperti sahib al-maqbarah, atau bermakna hati-hati jangan sampai suul khatimah seperti orang itu.

2. Kemudian yang kedua: adalah orang-orang yang shalih. Jika ziarah kepada orang-orang shalih, para wali, ini maknanya bukan الترهيب (at-tarhīb) tapi الترغيب (at-targhīb), yaitu kita berziarah namun di situ harus ada makna: kita terdorong untuk melakukan amal-amal shalih. Setelah kita berziarah, “gimana ya caranya bisa sholeh seperti ṣāḥib al-maqbarah, gimana caranya kita bisa ‘ālim seperti ṣāḥib al-maqbarah?” Sehingga ketika kita ziarah ke para wali, keluar-keluar kita bisa tambah kebaikan, iman, dan takwanya.

3. Yang terakhir: ketika yang diziarahi yaitu orang-orang yang bukan hanya sekadar shalih namun maqamnya sudah maqam para nabi, para rasul, dan para sahabat. Orang-orang seperti ini, ketika kita ziarahi, harus kita ingat terhadap manaqib atau sejarahnya. karena rata-rata para wali, kepada kematian itu justru merindukan. Seperti yang dikatakan Al-Imam ‘Ali bin Muḥammad bin Husein al-Habsyi di dalam salah satu qasidahnya:

إِذَا عَلِمَ الْعُشَّاقُ دَاءِي فَقُلْ لَهُمْ

فَإِنَّ لِقَائِِ أَحْبَابِ قَلْبِ دَوَاؤُهُ

“Ketika kamu dan orang-orang yang rindu itu tahu penyakitku itu apa hanya satu, yaitu bertemu dengan kekasih hatiku, yaitu Nabi Muḥammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.”

Yang dimaksud di sini adalah bukan hanya bertemu Nabi di Madinah saja, namun bisa bersama beliau di satu alam, yaitu alam barzakh.

Cerita seperti ini banyak sekali. Salah satunya adalah kisah Sayyiduna Bilal ketika mendekati ajalnya. Didalam kitab 'Siyar A‘lam an-Nubala’ Juz 1 halaman hal 359 Al-Imam Syamsuddin az-Zahabi menjelaskan:

قَالَ سَعِيْدُ بنُ عَبْدِ العَزِيْزِ: لَمَّا احْتُضِرَ بِلاَلٌ قَالَ: غَداً نَلْقَى الأَحِبَّهْ ... مُحَمَّداً وَحِزْبَهْ قَالَ: تَقُوْلُ امْرَأَتُهُ: وَاوَيْلاَهُ. فَقَالَ: وَافَرَحَاهُ.

Menjelang ajal beliau sayyiduna Bilal terbaring di atas tempat tidur dan berkata : “Besok aku akan bertemu dengan para kekasihku... Nabi Muhammad dan sahabat-sahabat beliau.”

Sementara istri Sayyiduna bilal duduk disamping beliau seraya menjawab : "Wahai musibah besar ini!" atau "Aduh celaka, suamiku akan pergi!"

Namun Sayyiduna Bilal tidak ikut dalam kesedihan itu. Justru beliau membalas dengan penuh kebahagiaan : "Wahai, betapa bahagianya ini!"

Ketika ziarah kepada orang seperti ini, maka mati bukan menjadi sebuah momok besar atau hal yang menakutkan, akan tetapi kematian menjadi awal dari perjumpaan yang sudah lama dirindukan. Yang berada dibenak bukanlah beratnya siksa dan hisab yang akan diperhitungkan, namun betapa besar nikmat dan karunia yang akan diterima di alam barzakh.

Closing statement dari pembahasan di atas: sekarang tinggal diri kita masing-masing. Apakah kematian kita nanti itu berujung baik atau buruk wallāhu a‘lam itu semua tergantung amal kita masing-masing. Apakah kita termasuk golongan orang yang pertama ataukah orang yang kedua?

Maka kita harus bisa meniru untuk meraih tingkat ketakwaan dan tingkat keshalihan para orang-orang yang diziarahi para wali Allah sehingga kita tidak di tingkat orang-orang yang jelek, tapi di tingkat orang-orang yang shalih, sehingga berkumpul bersama dengan para nabi, siddiqin, syuhada, dan salihin. Aamiin. Wallahu A'lamu Bishowab.

Kudus, 27 Muharrom 1447 H. 


Oleh: Tim Litbang