Tuesday, October 7, 2025

kebahagiaan sejati


Farid adalah seorang sopir truk. Setiap hari ia mengantarkan paket dari satu gudang ke gudang lain. Pekerjaan itu ia jalani demi menghidupi keluarganya yang selalu menunggu kepulangannya di rumah. Namun Farid jarang benar-benar pulang; ia bukan hanya sopir dalam kota, melainkan juga antarprovinsi.

Rutinitas yang berat membuatnya sering merasa lelah. Kadang ia mengeluh dalam hati, kadang ia iri melihat orang lain. Ada kalanya ia merasa hidupnya jauh dari kebahagiaan. Tapi semua itu ia simpan rapat-rapat agar keluarga dan orang terdekatnya tidak tahu.

Suatu hari, Farid mendapat tugas mengirim paket ke Jakarta. Ia menarik napas panjang. Tugas ke ibu kota bukan tugas biasa; jaraknya jauh, bebannya pun berat. Dengan perasaan yang campur aduk, ia menyalakan truk boksnya dan mulai berangkat. Sepanjang jalan ia bergumam dalam hati, “Kenapa harus capek-capek begini? Enak ya jadi pegawai kantoran…”

Belum habis keluhnya, jarum bensin turun drastis. “Alah, bensin mau habis lagi. Sekalian saja habis masa jabatannya,” gerutunya. Mau tidak mau, ia menepi di SPBU untuk mengisi bahan bakar. Selesai mengisi, azan Zuhur berkumandang. Kebetulan ada masjid di dekat situ, maka Farid pun memutuskan salat terlebih dahulu.

Usai salat, ia kembali melanjutkan perjalanan. Namun keluhan belum hilang dari hatinya. “Di mana kebahagiaan, ya Allah?” batinnya. Malam kian larut. Tepat pukul sembilan malam, ia akhirnya tiba di ibu kota. Sayang, truknya tiba-tiba mogok. Untung ia sempat menepi. “Ah, truk tua! Bikin masalah saja,” keluhnya sambil turun dan menendang ban. “Kenapa sih mau bahagia saja susah?”

Saat itulah matanya menangkap pemandangan tak biasa: seorang pengemis bersama dua anaknya yang masih kecil. Wajah mereka lusuh, tapi mereka tertawa ceria. Di tengah kesederhanaan itu, mereka terlihat bahagia.

Farid terdiam. Hatinya seperti disadarkan. Bahagia ternyata bukan soal apa yang kita punya, melainkan bagaimana kita bersyukur.

Sejak malam itu, Farid mulai belajar menerima hidupnya. Ia menjalani pekerjaannya dengan hati lebih lapang. Mengantar barang kini ia lakukan dengan ikhlas. Sepanjang jalan, keluhan ia ganti dengan zikir. Rasa iri ia ubah menjadi rasa syukur. Dan di situlah ia menemukan kebahagiaan sejati.

Oleh : Azami.

Friday, October 3, 2025

𝗗𝗮𝗸𝘄𝗮𝗵 𝗣𝗮𝗹𝗶𝗻𝗴 𝗔𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗱𝗶 𝗔𝗸𝗵𝗶𝗿 𝗭𝗮𝗺𝗮𝗻

Langit sore hari nampak cerah. Sayangnya, jalan raya tidak bersahabat. Dalam perjalanan saya menuju Kudus, demi menghadiri Harlah Pondok Pesantren Al-Fattah di Kudus pada Rabu (24/09) ba’da Isya’, truk-truk besar memenuhi jalanan. Kepul asap menghantam muka dari knalpot-knalpot tak tahu tata krama. 

Untungnya, saya akhirnya  bisa hadir tepat waktu. Sebelum Isya’. Mandi terlebih dahulu, membersihkan diri dari gumpalan debu perjalanan dari Semarang, membersihkan diri dari gumpalan dosa karena jauh dari taat selama masa kuliah. Menyiapkan diri untuk acara maulid, untuk menyambut Baginda Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam. 

Lantunan bacaan Simthud Durror menggetarkan langit-langit, mengetuk hati yang sudah lama rindu kepada Baginda Nabi. Tabuhan Rebana yang kencang menggedor-gedor pintu hati yang selama ini tertutup untuk kebaikan-kebaikan. Suasana yang luar biasa, menenangkan relung jiwa, mengistirahatkan hati dari kemelut masalah dunia. 


Acara Harlah ini dihadiri oleh Habib Muhammad bin Husein bin Anis Al Habsyi dari Solo. Beliau memberikan mauidhoh kepada hadirin tentang sesuatu yang kita miliki, yang luar biasa, yang tidak dimiliki oleh para sahabat yang hidup di zaman Nabi. Yakni menghidupkan sunnah di zaman fitnah. 




إحياء السنة في زمان الفتنة

Dan tentu saja, pahala memperjuangkan sunnah di zaman ini lebih besar daripada di zaman Nabi. 


Habib Muhammad mencontohkannya dengan memakai Imamah, sorban yang biasa dikenakan diatas peci. Pernah beliau melihat ada anak yang dikira mau karnaval dan berperan sebagai Pangeran Diponegoro karena memakai Imamah. 


Habib Muhammad juga mencontohkan dengan memakaikan pakaian putih. Sekarang, orang yang pergi ke Masjid memakai pakaian putih itu jarang. Padahal itu sunnah Nabi. 


"Jangan takut dirasani (digunjingkan) tetangga," ucap beliau. 


Beliau juga menekankan 

rasa atau cinta kepada Baginda Baginda Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. 


"Semua keutamaan yang kita miliki, itu semua adalah partikel dari Baginda Nabi," ungkap beliau. 


Jadi, jangan sampai ada orang yang berani mengatakan memiliki keutamaan, dan ngomong kalau keutamaan itu bukan dari Baginda Nabi Muhammad. 


"Dan dakwah yang paling aslam, paling selamat di akhir zaman ini, adalah mengajarkan mahabbah kepada Baginda Nabi."


Habib Muhammad menunjukkan kepada hadirin bagaimana Al Habib Ali bin Muhammad bin Husein Al Habsyi mengajarkan kita lewat dzauq (rasa) cinta kepada Nabi berkali-kali dalam kita maulidnya, Simthud Durror.

Pada akhir kunjungan di Kudus, beliau tak melupakan ziaroh Maqbaroh Abuya Ahmadi Abdul Fattah. Yang mana harlah ini adalah harlah pertama tanpa sosok Abuya di atas kursi. 


Oleh : K-San.

Friday, September 26, 2025

Maulidan Bukan Hanya Sekedar Perayaan



Nabi Muhammad
adalah pemimpin para Anbiya dan pemimpin para sholihin, dan kekasih Allah yang paling mulia. Jika dikatakan,  ‘عند ذكر الصالحين تنزل الرحمة’ (ketika disebut nama orang sholih, turunlah rahmat Allah.) ‘فكيف بسيدهم؟’ (bagaimana jika yang disebut adalah nama pemimpinnya?)


Suatu saat, nabi Muhammad menghadiri majelis yang menceritakan kisah orang sholih. Di situ, nabi kemudian bersabda :

لِأَنَّ أَجْلِسُ فِي هَذَا الْمَجْلِسِ أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ أَنْ أَعْتِقَ أَرْبَعَ رُقُبٍ

“karena bahwasanya menghadiri majelis seperti ini, lebih aku cintai daripada memerdekakan empat orang budak”.

 

Jika cerita orang sholih saja dapat menumbuhkan semangat diri kita untuk mengikuti akhlak para sholihin, maka cerita Nabi Muhammad ﷺ seharusnya juga akan menumbuhkan semangat dalam diri kita agar berakhlak seperti beliau.


Maka sebenarnya, perayaan Maulid seperti ini bukan hanya untuk bernyanyi qasidah atau bermain rebana saja, tetapi sejatinya tujuan Maulid seperti ini adalah seperti yang dikatakan Habib Ali ibn Muhammad Al-Habsyi :

تَشْوِيقًا لِلسَّامِعِينَ مِنْ خَوَاصِّ الْمُؤْمِنِينَ، وَتَرْوِيحًا لِلْمُتَعَلِّقِينَ بِهَذَا النُّورِ الْمُبِينِ

“membuat rindu para pendengar (pecinta nabi Muhammad ), dari golongan khusus orang-orang mukmin, dan menjadikan tenangnya hati semua orang yang memiliki ta’alluq dengan Nur (Cahaya) nabi”.

Hikmah Maulid di bulan mulia seperti ini adalah, bagi yang mungkin awalnya belum mengenal Nabi, dengan pembacaan Maulid akan tumbuh semangat dalam dirinya untuk mengenal Nabi dengan membaca sirah (kisah hidup), dan mengikuti akhlak mulia beliau.

Bagi yang sudah mengenal Nabi, pembacaan Maulid akan menjadikan hatinya tenang dengan disebutkannya nama Nabi dalam Maulid. Karena ketika seseorang sedang mencintai sesuatu, satu-satunya obat untuk menyembuhkan rasa rindunya adalah dengan diceritakan orang yang dia cintai.

Itulah sejatinya Maulid, yang dibacakannya akan membuat kita ingat, membuat kita bertambah cinta, dan menjadikan hati kita tenang dengan diceritakannya kekasih kita, Nabi Muhammad ﷺ.



Sampit, 24 Agustus 2025.


Oleh : Wafiq.











































 

Monday, September 15, 2025

Serial Inspirasi Nabi dalam Mendidik Manusia Seutuhnya : Memberi Contoh & Nasihat

Dalam perjalanan pendidikan, ada dua komponen yang tak pernah bisa dipisahkan: guru dan murid. Keduanya bagaikan matahari dan bumi—yang satu memberi cahaya kehidupan, yang lain menerima serta menumbuhkan kehidupan darinya. Ilmu sebesar apapun tidak akan sampai dengan baik jika tidak ada guru yang mampu menyampaikannya dengan hati, dan murid yang siap menerimanya dengan sepenuh hati juga.


Sayangnya, kini para pakar pendidikan tengah sibuk mengulik teori pendidikan Barat, mengejar metode-metode baru, bahkan menghabiskan waktu panjang untuk hal itu. Padahal, kita sering lupa bahwa sumber pendidik sejati sudah ada dalam sosok Rasulullah ﷺ. Beliau adalah gurunya para guru, yang langsung dididik oleh Allah ta’ala dengan kurikulum terbaik, yakni Al Quran. Allah sendiri menjadikan Nabi sebagai “uswah hasanah” (teladan yang baik). Karena itu, pantas kita menapaki petunjuknya dan mengikuti perjalanan sunnahnya, bagi siapa saja yang ingin belajar mendidik manusia seutuhnya- sehat fisiknya, terampil tangannya, cerdas akalnya, stabil emosinya, dan bahagia ruhaninya.

 

Saya teringat hadis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam : 


‎«لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ، وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَتَبِعْتُمُوهُمْ» قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى؟ قَالَ: «فَمَنْ؟» (رواه البخاري ومسلم)


Artinya: “Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti jejak orang-orang sebelum kalian dengan sebaik-baiknya. Sampai-sampai jika mereka masuk ke lubang biawak, kalian pun akan mengikutinya.” Para sahabat bertanya: ‘Ya Rasulullah, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab: ‘Lantas siapa lagi?’”


Tak diragukan lagi, pendidikan adalah hak semua manusia. Namun, realitasnya sering kali kita justru lebih sibuk meniru sistem pendidikan dari luar, seakan-akan kearifan kita -sebagai umat islam- seperti tidak ada nilainya. Padahal Rasulullah ﷺ sudah mengingatkan bahwa umat Islam akan cenderung mengikuti jejak umat-umat sebelumnya, bahkan dalam hal-hal yang tidak bermanfaat, hingga tanpa sadar meninggalkan warisan pendidikan yang agung dari beliau.


Maka, penting bagi kita untuk menjadikan Nabi ﷺ sebagai sumber inspirasi pendidikan, bukan hanya menjadikan teori luar sebagai acuan.


       A. Metode pertama: Memberi Contoh & Nasihat

1. Perumpamaan Orang Mukmin dan Buah Utrujah


Rasulullah ﷺ. sering kali memperjelas nasihat-nasihatnya dengan bantuan contoh yang disaksikan, dialami, dan dirasakan langsung oleh para sahabat. Tujuannya agar nasihat tersebut lebih menyentuh hati dan lebih melekat dalam ingatan.


Di antaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh sayyidina Anas ibn Malik radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah ﷺ bersabda:


“Orang beriman yang suka membaca Al-Qur’an ibarat buah utrujah: aromanya wangi dan rasanya manis.


Orang beriman yang tidak suka membaca Al-Qur’an seperti buah kurma: rasanya manis namun tak beraroma.


Orang jahat yang suka membaca Al-Qur’an laksana raihanah: aromanya wangi namun rasanya pahit.


Dan orang jahat yang tidak suka membaca Al-Qur’an bagaikan hanzhalah: rasanya pahit dan tak beraroma.”


Secara tidak langsung, Rasulullah ﷺ membagi manusia menjadi empat. Saat menyimak penuturan beliau, tentu para sahabat akan memasang pendengaran baik-baik seraya ingin mengetahui kelompok mana di antara keempat kelompok tersebut yang dapat mereka gunakan untuk menimbang diri mereka.


Dari situ mereka mampu mengenali di mana posisi diri mereka. Timbangan ini membuat mereka ingin mengenali ciri masing-masing. Dari situ pula mereka ingin menjadi kelompok yang diharapkan. Betapa kuatnya motivasi dalam contoh yang disampaikan Rasulullah ﷺ!


2. Seseorang Akan Bersama yang Dicintainya


Dalam kesempatan lain, Rasulullah saw. kedatangan seorang laki-laki. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasul, bagaimana menurutmu tentang seorang yang mencintai suatu kaum namun ia belum pernah berjumpa mereka?”


Beliau menjawab:


‎اَلْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ


“Orang itu bersama orang-orang yang dicintainya.”


Jawaban Rasulullah ﷺ di atas menjadi contoh yang dapat disampaikan dalam setiap keadaan serupa dan penambah kecintaan kaum muslim kepada Rasulullah ﷺ supaya mereka bisa bersama-Nya di surga.


Oleh karena manusia ingin bersama orang-orang saleh, walaupun terkadang mereka lalai dalam beramal, namun dalam Islam mereka tidak diperbolehkan putus asa dalam meraih derajat tinggi. Karena itu, seseorang harus mencintai dan meyakini orang-orang saleh agar kelak bersama golongan mereka pada hari yang tidak ada lagi teman kecuali teman seiman dan saling mencintai karena Allah.


3. Kasih Sayang: Siapa yang Tidak Menyayangi, Tidak Akan Disayangi.


Suatu kali, Al-Aqra’ bin Habis melihat Nabi ﷺ mencium cucunya, sayyidina Hasan dan Husain. Dengan heran ia berkata:


“Wahai Rasulullah, aku punya sepuluh anak, tapi aku belum pernah mencium seorang pun dari mereka.”


Maka Rasulullah ﷺ menatapnya lalu bersabda:


‎«مَنْ لَا يَرْحَمْ لَا يُرْحَمْ» (رواه البخاري ومسلم)


“Barang siapa tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi.”


Perhatikan bagaimana Nabi mendidik; beliau memberi contoh nyata dengan mencium cucunya, lalu menguatkannya dengan nasihat tegas. Di tengah budaya Arab yang kaku dan menganggap kelembutan sebagai kelemahan, Nabi justru menegaskan bahwa kasih sayang adalah inti pendidikan.


Dari tiga hadis ini kita belajar bahwa Rasulullah ﷺ mendidik bukan hanya dengan teori rumit, tetapi dengan contoh nyata dan nasihat penuh makna. Dalam mendidik, beliau tidak hanya mengajarkan ilmu, tapi juga menanamkan rasa.


Maka, bila kita ingin menjadi pendidik sejati—entah sebagai guru di kelas, orang tua di rumah, atau pemimpin di masyarakat—teladan terbaik tetaplah Rasulullah ﷺ. Jadilah pengajar yang hidup dalam teladan, bukan hanya kata. Karena sesungguhnya, ilmu yang paling mudah diserap adalah ilmu yang lahir dari hati dan diliputi dengan kasih sayang.


                                        ‏-Sejatinya, yang lahir dari hati akan sampai pada hati-


-Diterjemahkan dari kitab : asalib at tarbiyyah an nabawiyyah.


Oleh : Tim Litbang.


Thursday, September 11, 2025

Satu Hari Lebih Dekat Dengan Nabi 3 : Getaran Kerinduan

 

ثُمَّ إِنَّ بِلاَلاً رَأَى النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فِي مَنَامِهِ وَهُوَ يَقُوْلُ: (مَا هَذِهِ الجَفْوَةُ يَا بِلاَلُ؟ أَمَا آنَ لَكَ أَنْ تَزُوْرَنِي؟). فَانْتَبَهَ حَزِيْناً، وَرَكِبَ رَاحِلَتَهُ، وَقَصَدَ المَدِيْنَةَ، فَأَتَى قَبْرَ النَّبِيِّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- فَجَعَلَ يَبْكِي عِنْدَهُ، وَيُمَرِّغُ وَجْهَهُ عَلَيْهِ، فَأَقْبَلَ الحَسَنُ وَالحُسَيْنُ، فَجَعَلَ يَضُمُّهُمَا، وَيُقَبِّلُهُمَا. فَقَالاَ لَهُ: يَا بِلاَلُ! نَشْتَهِي أَنْ نَسْمَعَ أَذَانَكَ. فَفَعَلَ، وَعَلاَ السَّطْحَ، وَوَقَفَ. فَلَمَّا أَنْ قَالَ: الله أَكْبَرُ، الله أَكْبَرُ، ارْتَجَّتِ المَدِيْنَةُ. فَلَمَّا أَنْ قَالَ: أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهَ، ازْدَادَ رَجَّتُهَا. فَلَمَّا قَالَ: أَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّداً رَسُوْلُ اللهِ، خَرَجَتِ العَوَاتِقُ مِنْ خُدُوْرِهِنَّ. وَقَالُوا: بُعِثَ رَسُوْلُ اللهِ. فَمَا رُؤِيَ يَوْمٌ أَكْثَرَ بَاكِياً وَلاَ بَاكِيَةً بِالمَدِيْنَةِ بَعْدَ رَسُوْلِ اللهِ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- مِنْ ذَلِكَ اليَوْمِ . 

(سير أعلام النبلاء، ص: 358)


Suatu hari, Sayyidina Bilal melihat Nabi Muhammad ﷺ di dalam mimpinya. Beliau bersabda kepadanya:

“Wahai Bilal, kenapa engkau begitu lama menjauh dariku? Tidakkah sudah saatnya engkau menziarahiku?”

Sayyidina Bilal pun terbangun dengan hati yang sedih. Ia segera menyiapkan tunggangannya lalu berangkat menuju Madinah. Sesampainya di sana, ia mendatangi makam Nabi Muhammad ﷺ. Di hadapan makam beliau, Sayyidina Bilal menangis tersedu-sedu dan mengusap-usapkan wajahnya di atasnya karena kerinduannya.

Tidak lama kemudian datanglah Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain (cucu Nabi ﷺ). Sayyidina Bilal pun memeluk keduanya dan mencium mereka dengan penuh kasih sayang. Lalu keduanya berkata kepadanya:

“Kami ingin mendengarkan azanmu, hai muazin Nabi, sebagaimana pada masa Rasulullah!”

Maka Sayyidina Bilal pun memenuhi permintaan mereka. Ia naik ke atas menara dan mulai mengumandangkan adzan.

Ketika ia mengucapkan “Allahu Akbar, Allahu Akbar”, seluruh kota Madinah berguncang karena tangisan dan haru.

Ketika ia melanjutkan dengan “Asyhadu an la ilaha illallah”, tangisan semakin menjadi-jadi.

Dan saat ia mengucapkan “Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah”, Bilal tak sanggup melanjutkannya.

Sementara itu, hampir semua penduduk Madinah keluar dari rumah (bahkan para gadis keluar dari rumah rumahnya), menuju ke masjid sambil berteriak: “Apakah Rasulullah telah diutus kembali?”

Hari itu, Madinah dipenuhi dengan tangisan. Belum pernah terlihat ada hari dengan tangisan dan kesedihan sebesar hari itu sejak wafatnya Rasulullah ﷺ. 

(Dikutip dari kitab Siyar  A'lam An-Nubala'  halaman 358).

Oleh : Al Ustadz Muhammad Iqbal Khauri.

Monday, September 8, 2025

Satu Hari Lebih Dekat Dengan Nabi 2 : Cinta yang Melebihi Segalanya

 

        Perang Uhud menjadi salah satu ujian besar bagi kaum Muslimin. Banyak sahabat yang gugur syahid, termasuk di antaranya para pemuka kaum Anshar. Di tengah kekacauan itu, terdapat sebuah kisah yang menyentuh hati tentang keteguhan cinta seorang wanita Anshar kepada Rasulullah .

و روى ان امرأة من الانصار قتل ابوها و اخوها و زوجهــا يــوم احد مع رسول الله صلى الله عليه و سلم فقالت : ما فعل رسول الله صلى الله عليه و سلم : قالوا : خيرا ، هو بحمد الله كما تحبين ، قالت : أرنيه حتى انظر اليه ، فلما رأته قالت : كل مصيبة بعدك جلل

“Ada seorang wanita dari kalangan Anshar yang kehilangan Ayah, Saudara dan Suaminya yang terbunuh Mati Syahid di perang Uhud saat berperang bersama Rasulullah . Lantas wanita bertanya (pada Sahabat yang lain): “Bagaimana keadaan Rasulullah ?” Para Sahabat menjawab: “Keadaan Rasulullah baik-baik saja, beliau dalam puji Allah (selamat, mendapat pertolongan dan sehat) seperti yang engkau lihat sebelumnya. Wanita berkata: “Tolong tunjukkan padaku dimana Rasulullah berada aku ingin melihatnya”. Maka tatkala wanita itu melihat Rasulullah , ia berkata: “Semua musibah (yang terjadi) setelah (aku melihat engkau selamat) itu terasa kecil”.

Kisah ini menggetarkan hati setiap mukmin. Seorang wanita yang kehilangan ayah, suami, dan saudaranya sekaligus, justru menemukan ketenangan ketika melihat Nabi selamat. Baginya, selama Rasulullah ada, selama risalah Allah masih terjaga, maka semua kehilangan dunia terasa ringan.

Inilah cinta sejati seorang mukmin. Cinta yang meletakkan Rasulullah di atas segala cinta. Cinta yang membuktikan bahwa iman tidak hanya sebatas kata, tetapi benar-benar menjadi pegangan hidup.

Nabi pernah bersabda:

عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: «لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ»— (رواه البخاري ومسلم).

“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada orang tuanya, anaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Kisah ini bukan hanya cerita masa lalu. Ia adalah cermin bagi kita hari ini. Jika seorang wanita Anshar rela melewati duka besar demi memastikan keselamatan Rasulullah ﷺ, bagaimana dengan kita? Apakah kita sudah menempatkan beliau di hati kita di atas segalanya?

Cinta kepada Rasulullah di zaman ini dapat kita wujudkan dengan cara:

  • Mengikuti sunnah beliau dalam ibadah, akhlak, dan kehidupan sehari-hari.

  • Membela ajaran beliau dengan ilmu, dakwah, dan perilaku yang baik.

  • Menjadikan beliau teladan dalam kesabaran, kasih sayang, dan keteguhan iman.

Oleh: Muhammad Iqbal Khauri.


Thursday, September 4, 2025

Sang Pembenar : Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq radhiyallahu 'anhu

   

 Lahir di Mekkah dua tahun setelah kelahiran Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq adalah salah satu tokoh paling terkemuka dari klan Bani Tamim, bagian dari suku Quraisy yang sangat disegani. Meskipun terlahir dengan nama Abdul Ka'bah—yang berarti 'hamba Ka'bah'—nama ini diubah oleh Rasulullah ﷺ menjadi Abdullah, sebuah nama yang lebih mulia dan bermakna 'hamba Allah'. Sejak kecil, beliau telah menunjukkan karakter yang luar biasa. Berbeda dengan pemuda Mekkah pada umumnya yang terbiasa dengan pesta, judi, dan minum-minuman keras, Sayyidina Abu Bakar menjalani hidup yang bersih dari hal-hal tersebut. Beliau adalah sosok yang cerdas, memiliki hati yang lembut, dan dikenal dengan kejujuran serta kesabaran yang tak tertandingi.

    Kemuliaan akhlaknya tercermin dalam profesinya sebagai seorang pedagang ulung. Dengan modal awal 40.000 dirham, beliau membangun kekayaan yang besar, namun bukan dengan cara curang. Kejujuran adalah modal utamanya. Beliau dikenal menepati janji dan memperlakukan semua orang, baik kawan maupun lawan, dengan adil. Kekayaannya tidak membuatnya sombong, melainkan menjadikannya lebih dermawan, gemar menolong, dan membebaskan orang-orang yang tertindas. Beliau adalah salah satu orang yang paling dihormati di Mekkah sebelum datangnya Islam.

Keislaman dan Gelar Mulia
    Ketika Rasulullah ﷺ memulai dakwahnya, Sayyidina Abu Bakar menjadi laki-laki dewasa pertama yang memeluk Islam tanpa keraguan sedikit pun. Keimanan yang langsung menancap di hatinya menunjukkan kedalaman pemahaman beliau tentang kebenaran. Beliau tidak memerlukan bukti, karena beliau telah mengenal kebenaran dalam diri Rasulullah ﷺ selama puluhan tahun persahabatan mereka.

    Keimanan Sayyidina Abu Bakar diuji dalam peristiwa Isra' dan Mi'raj. Ketika banyak penduduk Mekkah, bahkan sebagian kaum Muslim, ragu dan menertawakan cerita Rasulullah ﷺ tentang perjalanannya dalam semalam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa dan kemudian naik ke langit, namun Sayyidina Abu Bakar langsung membenarkannya. Dengan keyakinan penuh, ia berkata, "Jika ia yang mengatakannya, maka ia adalah orang yang benar." Dari sinilah beliau mendapatkan gelar yang abadi, "As-Siddiq", yang berarti 'yang berkata benar'. Gelar ini bukan sekadar julukan, melainkan pengakuan atas kebenaran imannya yang absolut.

    Pengorbanan Sayyidina Abu Bakar tidak hanya sebatas kata-kata. Beliau rela mengorbankan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Dengan hartanya, beliau membebaskan budak-budak yang disiksa karena memeluk Islam, termasuk Bilal bin Rabah, yang kemudian menjadi salah satu muazin paling terkenal dalam sejarah Islam. Tindakannya ini menunjukkan komitmen totalnya pada dakwah.

Sahabat Setia dalam Hijrah dan Ketaatan Penuh
    Persahabatan antara Sayyidina Abu Bakar dan Rasulullah ﷺ adalah salah satu yang paling agung dalam sejarah. Ketika kaum kafir Quraisy merencanakan pembunuhan terhadap Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang menemani beliau dalam perjalanan hijrah yang berbahaya dari Mekkah ke Madinah. Mereka bersembunyi di dalam Gua Tsur, di mana Sayyidina Abu Bakar menunjukkan kesetiaannya yang luar biasa. Beliau membersihkan gua dari segala macam serangga dan bahkan menutup lubang-lubang dengan kakinya, khawatir ada sesuatu yang membahayakan Rasulullah ﷺ. Bahkan ketika Rasulullah ﷺ meletakkan kepala di pangkuannya dan tertidur, Sayyidina Abu Bakar menahan rasa sakit akibat gigitan kalajengking demi tidak membangunkan beliau.

Kepemimpinan Sebagai Khalifah
    Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama melalui musyawarah. Masa kepemimpinannya yang berlangsung selama dua tahun tiga bulan adalah masa yang sangat krusial bagi kelangsungan Islam. Beliau menghadapi dua tantangan besar yang mengancam kehancuran umat dari dalam:

  1. Perang Riddah (Perang Melawan Kemurtadan): Banyak kabilah Arab yang baru masuk Islam kembali murtad dan menolak membayar zakat setelah wafatnya Rasulullah ﷺ. Sebagian dari mereka bahkan mengangkat nabi-nabi palsu. Dengan ketegasan dan kebijaksanaan, Sayyidina Abu Bakar memimpin pasukan Muslim untuk memerangi mereka. Beliau berprinsip bahwa zakat adalah kewajiban yang tidak bisa dipisahkan dari syahadat. Berkat kepemimpinan beliau yang kuat, pemberontakan ini berhasil dipadamkan, dan persatuan umat Islam kembali tegak.

  2. Pembukuan Al-Qur'an: Dalam pertempuran melawan kaum murtad, banyak dari para Sahabat yang gugur, termasuk para huffaz (penghafal Al-Qur'an). Kekhawatiran akan hilangnya ayat-ayat suci mendorong Sayyidina Umar bin Khattab mengusulkan kepada Sayyidina Abu Bakar untuk mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an. Meskipun awalnya ragu karena ini adalah hal yang belum pernah dilakukan di zaman Rasulullah ﷺ, Sayyidina Abu Bakar akhirnya setuju. Beliau menugaskan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan semua lembaran Al-Qur'an, dari pelepah kurma, batu, tulang, hingga hafalan para Sahabat. Perintah ini menjadi salah satu kontribusi terbesar dan paling monumental dari beliau, yang menjaga keaslian dan kelestarian kitab suci umat Islam hingga hari ini.

Akhir Hayat dan Kemuliaa Tertinggi

    Setelah kepemimpinan yang penuh tantangan, Sayyidina Abu Bakar As-Siddiq wafat pada tanggal 23 Agustus 634 M. Beliau mengembuskan napas terakhirnya di usia 61 tahun. Kehilangan beliau merupakan duka yang mendalam bagi seluruh kaum muslimin. Atas permohonannya, beliau dimakamkan di samping makam Rasulullah ﷺ, sebuah tempat terhormat yang mencerminkan kedekatan dan keagungan posisinya di sisi Rasulullah ﷺ.

    Sayyidina Abu Bakar meninggalkan warisan yang tak terhingga. Beliau adalah simbol kesetiaan tanpa syarat, pengorbanan tanpa batas, dan kepemimpinan yang tegas dan bijaksana. Rasulullah ﷺ pernah bersabda bahwa Sayyidina Abu Bakar adalah orang yang akan dipanggil dari semua pintu surga pada Hari Kiamat. Ini adalah bukti kehormatan tertinggi yang diberikan kepadanya, sebagai pengakuan atas segala pengabdian dan keteguhan imannya. Beliau adalah jembatan yang menghubungkan era kenabian dengan era kekhalifahan, memastikan ajaran Islam tetap tegak setelah wafatnya Rasulullah ﷺ.

oleh : Tim Litbang.