Bel sekolah berbunyi keras, membuyarkan keheningan kelas yang sejak tadi terasa menekan. Ardan berdiri cepat, mengambil tasnya, dan keluar dengan perasaan lega seolah seluruh beban langsung terangkat dari bahunya. Di luar, Reno dan Fikri sudah menunggunya. Tawa mereka pecah spontan, seperti kembang api yang menyala tanpa aba-aba.
Sore selalu menjadi waktu paling mereka tunggu.
Sore adalah jeda ruang untuk bernapas setelah seharian penuh pelajaran.
Bukan sekadar saat matahari mulai turun, tetapi juga waktu ketika kebebasan terasa menyentuh wajah seperti angin yang berlari tanpa henti.
“Gas ke lapangan basket, Dan!” seru Reno, matanya berbinar seperti anak kecil melihat camilan favoritnya didiskon.
Ardan tersenyum lebar. Ia melempar tas ke punggung dan berlari bersama kedua sahabatnya menuju lapangan kecil di tepi sungai. Lapangan itu memang tidak sempurna: garis cat sudah pudar, ringnya sedikit miring, tapi bagi mereka tempat itulah yang paling bisa menampung tawa.
Pertandingan dimulai.
Debu berputar di udara setiap kali mereka bergerak.
Bola memantul cepat, seperti jantung yang berdebar saat seseorang merasakan cinta pertamanya.
Ardan melompat, mengarahkan bola, dan bung! bola masuk mulus.
“Siiiip! King of the court!” teriak Fikri sambil tertawa puas.
Dalam momen itu, hidup terasa sangat sederhana.
Tidak ada pelajaran sulit, tidak ada drama dengan teman, tidak ada tugas yang menumpuk.
Yang ada hanya kebahagiaan kecil yang datang dari suara tawa dan sore yang terasa enggan pergi.
Setelah selesai bermain, mereka duduk di pinggir sungai. Air mengalir pelan, memantulkan warna senja yang lembut, membuat semuanya terlihat seperti adegan film yang penuh ketenangan.
“Kalau hidup selalu kayak gini ya, Dan…” ucap Reno pelan. “Pasti enak. Nggak ada drama, nggak ada pusing.”
Ardan memandang aliran sungai, tersenyum kecil.
“Hidup itu kayak sungai, No. Kadang tenang, kadang deras. Tapi kalau di jalanin bareng-bareng, jadi lebih ringan.”
Reno dan Fikri mengangguk. Mereka paham tanpa perlu banyak kata.
Saat Ardan pulang, ibunya sudah menunggunya di depan pintu. Senyumnya hangat, seperti pelukan yang bisa menenangkan hari paling berat sekalipun.
“Main sama teman, ya, Nak?”
“Iya, Bu,” jawab Ardan sambil tersenyum bangga. “Tadi aku menang basket!”
Ibunya tertawa kecil, suara yang terdengar penuh kasih.
“Ibu senang kamu bahagia.”
Ardan tahu, di balik senyum itu ada perjuangan besar yang tidak bisa ia bayangkan. Ibunya sedang melawan penyakit yang perlahan menguras tenaga, tapi ia tetap menjadi tempat paling nyaman untuk pulang.
Tawa teman adalah angin.
Tapi pelukan Ibu adalah rumah.
Malam itu, ketika Ardan hampir tertidur, ibunya duduk di tepi ranjang dan berbisik lembut,
“Jangan hilangkan masa remajamu, Dan. Nikmati. Tertawa. Bermimpi besar. Ibu ingin melihat kamu meraih semuanya.”
Ardan menatap ibunya, matanya berkilat seperti bintang yang baru muncul.
“Aku janji, Bu. Kita akan bahagia sama-sama.”
Dan jauh di dalam hatinya, Ardan menyadari bahwa hidup bukan hanya tentang kuat menghadapi badai.
Hidup adalah tentang mensyukuri setiap sore yang tenang, setiap tawa yang sederhana, dan orang-orang yang selalu membuat kita ingin pulang.
Oleh : Arsakha

.jpg)
.jpg)




.png)