Tuesday, February 12, 2019

Santri (Masih) Relevan kah…?


          Santri (Masih) Relevan kah…?               

Kaum sarungan, baik itu Kyai atau Ustadz selalu mengatakan atau lebih senang jika disebut sebagai “Santri”, banyak juga yang mendefinisikan siapa itu santri, murid yang ngeger (ngabdi) kepada kyai pada zaman Kolonial Belanda dahulu sangatlah dihormati. Mereka itu disebut dengan “Santri”. Dalam bahasa Sansekerta, santri merupakan akronim dengan suku kata masing – masing “san” berarti kebagusan, sedangkan “tri” berarti tiga. Jadi, ketika sudah melalui proses penggabungan, kata “santri” memiliki arti “tiga kebagusan”. Tiga kebagusan itu mencakup Islam, Iman dan Ihsan.

Relevannya Santri Sekarang
               Berbeda dari bahasa Sansekerta, sumber lain yang mereka-reka dengan takwilan kata “santri” satu per satu ketika di-eja menggunakan huruf Arab. Dengan singkatan “Sin” berarti “Satrul 'uyub” (menutup sikap cela). Kemudian “Alif” berarti “Amar ma'ruf  nahi mungkar” (menyuruh kebaikan, menjauhi kejelekan). Selanjutnya “Nun” berarti “Naibusy Syuyukh” (Pengganti orang tua atau guru). Kemudian “Ta'” berarti “Tarkul ma'ashi” (berusaha kuat meninggalkan maksiat). Selanjutnya “Ro'” berarti “rooghibun fil mandhub” (sepi dari mengharap imbalan). Dan “Ya'” “yughni 'anrizqillah” (merasa cukup dengan rizki yang diberikan oleh Allah).

               Tetapi, berdasarkan realitas saat ini, kata “santri” agak tepat didefinisikan sebagai individu yang mengkaji ilmu agama didalam lingkungan pondok pesantren. Untuk melegiminasi siapa santri itu dan misi apa yang di emban oleh santri. Dalam hal ini berdasarkan firman Allah SWT dalam surat At-Taubah ayat 122 :

وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semua (ke medan perang), sebaiknya supaya tiap golongan diantara mereka terdapat beberapa orang yang memperdalam pengetahuan tentang agama dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka kembali, agar mereka dapat menjaga diri” (Qs. At-Taubah : 122)

               Ayat diatas menginformasikaan bahwa santri adalah dia yang memposisikan diri sebagai pembimbing umat, serta siap sedia mempersiapkan kader – kader dakwah berkepribadian kokoh demi menjaga kemurnian ajaran agama.

               Santri memahami agama bukan berdasarkan teks saja, akan tetapi secara konteks baik tersirat maupun tersurat. Jadi santri paling tidak harus bisa memahami betul apa kandungan yang ada di dalam sebuah teks.
Beberapa Santri Yang Sedang Melakukan Kegiatan
di Pesantren

Sedangkan, pesantren sendiri merupakan wadah dimana untuk menggembleng keilmuan dan adab mereka sebelum terjun kemasyarakat. Ia menjadi tempat simulasi terkecil menempa kemandirian, sikap saling menghormati, gotong royong, organisasi dan konsep-konsep sosial yang lainnya. Disitulah kepekaan sosialnya dirangsang. Menyikapi situasi dan kondisi, lantas mencari sebuah solusi.

Hampir tidak mungkin atau peluang sangat kecil sekali, jika santri melakukan hal anarkis atau menjadi teroris. Pun tidak pernah terdengar ada pesantren yang melakukan tawuran antar pesantren seperti yang dilakukan sebuah lembaga pendidikan yang didanai dan dikelola oleh negeri ini. Tawuran saja tidak bisa, apalagi anarkis. Mereka mempunyai pandangan bahwa sebagai santri harus mendahulukan akhlak mereka diatas ilmu.             

               Seperti dawuhnya Abuya Sayid Muhammad ibnu Alawi Al-Hasani Al Maliki “Akhlak lebih didahulukan daripada Ilmu”. Mereka yang berbuat anarkis dan menjadi teroris yang meneriakkan atas nama agama adalah orang minim keagamaan, lalu mereka bertemu atau belajar kepada orang yang tidak tepat.

               Sehingga, mereka keblinger surga, yang akhirnya saking keblingernya menggunakan cara instant yang menurut mereka itu adalah satu-satunya jalan untuk mendapatkannya. Padahal jihad fisabilillah yang diajarkan dipondok pesantren adalah menyebarkan luaskan ilmu dan menyebar kedamaian terhadap sesama. Karena konsep Hablum Minannaas dikaji lebih mendalam disana. Santri mempunyai semboyan,

المحافظة على القديم الصالح والأخد بالجديد الاصلاح 

“Melestarikan hal-hal kuno (masih relevan) dan mengambil sesuatu terobosan yang baru (langkah inovatif)”.

               Meskipun begitu mereka tidak fanatik. Tetap membuka diri untuk hal yang baik. Mereka juga tidak alergi dengan teknologi dan modernitas. Bisa kita lihat, sekarang kaum santri tidak mengaji saja tapi dunia digital pun mereka pelajari.

               Komputerisasi di lab-lab pesantren seakan tak mau kalah dengan lembaga pendidikan lainnya. Namun, sekencang apa pun badai globalisasi yang terjadi mau tak mau harus diikuti, akan tetapi itu tidak akan merubah dan membuat santri kehilangan identitasnya. Jadi, label kolot, fanatik dan alergi terhadap kemajuan zaman merupakan kesalahan.

Kegiatan Santri Untuk NKRI Yang Menjadi Bukti
Bahwa Santri itu Tidak Fanatik
                              Mengenai negara islam juga dijawab oleh kaum santri. Peringatan hari santri nasional tanggal 22 oktober yang diresmikan oleh bapak presiden adalah salah satu jalannya. Mereka bangga dan sangat mencintai Indonesia. Sampai titik darah penghabisan dengan semboyan NKRI harga mati. Mereka termasuk generasi penjaga negeri. 

Bagaimana mungkin tidak, penduduk Indonesia mayoritas muslim, namun mereka tidak egois menjadikan negeri ini negeri islam. Mereka tetap setia pada kebhenikaan yang tunggal ika. Dengan kesadaran penuh bahwa Tuhan menjadikan manusia bersuku-suku dan berbangsa-bangsa. Maka, adanya pondok pesantren dan santri eksistensinya sangat masih dibutuhkan diera globalisasi yang sarat dengan kemajuan teknologi. Mereka menjadi titik penyeimbang. Walaupun, sebenarnya keberadaan santri terus menerus ingin digerus oleh pihak-pihak tertentu. Mereka tahu, tapi mereka tidak terpancing menanggapi isu-isu negatif. Dan cukuplah hari santri nasional menjadi jawaban bagi pihak-pihak tertentu yang ingin menenggelamkan santri itu menjadi semakin gusar, gelisah dan kepanasan. Karena, santri semakin erat dan kokoh persatuannya membela, menjaga dan merawat negeri ini.

       Oleh Ustadz Muhammad Faiz Amali
Previous Post
Next Post

0 comments: