Sunday, April 14, 2019

MERDEKA DALAM MEMILIH !!


                 
           Setelah amandemen ke-4 UUD 45 pada 2002, pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dipilih oleh MPR, desipakati untuk mengusung rakyat secara langsung dalam pemilihannya sehingga pemilihan presiden ini masuk dalam PEMILU ( yang asalnya hanya diperuntukkan untuk pemilihan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaken / Kota). Buah dari amandemen ini mengakibatkan polemic tersendiri bagi masyarakat Indonesia. Perbedaan pandangan terhadap calon yang tersedia tidak bisa dihindarkan yang ujung ujung dapat menyebabkan perseteruan antar keluarga, masyarakat dengan tokoh panutannya, guru dan murid, hingga masuk ranah pesantren antara santri dan kiai nya. 
            Bagai makan buah simalakama, mereka dihadapkan pada dua pilihan yang sulit antara memilih pilihan mereka sendiri atau taat pada orang tua atau guru. Orang tua memaksa anaknya mengikuti pilihannya, atau kiai yang menginstruksikan santrinya agar memilih calon tertentu sudah lumrah terjadi dilingkungan kita. Padahal sudah kita ketahui bahwa asas PEMILU Indonesia menganut asas LUBERJURDIL ( Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil). Langsung yang berarti pemilih memilih calon secara langsung tidak bisa diwakilkan pada orang lain. Umum yang berarti yang berarti pemilihan dapat diikuti oleh semua warga yang sudah memenuhi syarat. Bebas yang berarti pemilih dapat memilih pilihannya secara bebas, tanpa paksaan dari pihak manapun. Rahasia berarti hanya pemilih yang tahu pilihan calonnya. Jujur yang bebarti memilih calon sesuai peraturan yang ada untuk memastikan warga yang mempunyai hak memilih dapat memilih sesuai kehendaknya dan setiap surat suara mempunyai nilai yang sama dan asas adil yang berarti perlakuan yang sama antara peserta pemilu (calon) dan pemilih, tidak ada diskriminasi dan pengistimewaan pada keduanya.
                  Berdasarkan asas asas tersebut, diharapkan pencoblos dapat mengituti pesta demokrasi ini secara sehat, sejuk, dan damai berdasarkan sila ke-4 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'
            Lalu bagaimana sikap kita menjadi pihak  yang dipaksa ?
 Memilih pemimpin adalah ladang ijtihad bagi kita, mana pemimpin yang paling membawa maslahat bagi ummat dengan kebijakannya nanti, itulah pilihan yang harus kita ijtihadi.

وبهذا يعلم انه لا يلزم الولد امتثال امر والده بالتزام مذهبه,لأن ذاك حيث لا غرض فيه صحيح مجرد حمق, ...
 Bilamana seorang anak atau santri memiliki pandangan berbeda terhadap orangtuanya atau kiainya, dan mungkin sang anak atau santri tadi lebih tahu bahwa pilihannya adalah yang paling membawa maslahat, maka tidak masalah untuk mereka tidak mengikuti perintah. Karena lagi lagi esensi dalam hak pemilihan adalah yang paling membawa mashlahat.[2]

Untuk yang terakhir, marilah kita memilih pemimpin dengan pilihan 'merdeka', bukannya di'jajah' oleh doktrin atau faktor faktor external yang melemahkan pendirian kita.

Wallahu a'lam

                                                                                                                           MyM Arch



[1] http://www.nu.or.id/post/read/85341/      
[2] Lihat Fatawa Al Fiqhiyyah Al kubro Vol II Hal. 104-105

Previous Post
Next Post

0 comments: