Setelah amandemen ke-4 UUD 45 pada
2002, pemilihan presiden dan wakil presiden yang semula dipilih oleh MPR, desipakati untuk mengusung rakyat secara langsung dalam pemilihannya sehingga
pemilihan presiden ini masuk dalam PEMILU ( yang asalnya hanya diperuntukkan
untuk pemilihan DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaken / Kota). Buah dari
amandemen ini mengakibatkan polemic tersendiri bagi masyarakat Indonesia.
Perbedaan pandangan terhadap calon yang tersedia tidak bisa dihindarkan yang
ujung ujung dapat menyebabkan perseteruan antar keluarga, masyarakat dengan
tokoh panutannya, guru dan murid, hingga masuk ranah pesantren antara santri
dan kiai nya.

Berdasarkan
asas asas tersebut, diharapkan pencoblos dapat mengituti pesta demokrasi ini secara
sehat, sejuk, dan damai berdasarkan sila ke-4 'kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'
Lalu bagaimana sikap kita menjadi pihak yang dipaksa ?
Memilih pemimpin adalah ladang ijtihad bagi kita, mana pemimpin yang paling membawa
maslahat bagi ummat dengan kebijakannya nanti, itulah pilihan yang harus kita ijtihadi.
وبهذا يعلم انه لا يلزم الولد امتثال امر والده
بالتزام مذهبه,لأن ذاك حيث لا غرض فيه صحيح مجرد حمق, ...
Bilamana seorang anak atau santri memiliki
pandangan berbeda terhadap orangtuanya atau kiainya, dan mungkin sang anak atau
santri tadi lebih tahu bahwa pilihannya adalah yang paling membawa maslahat,
maka tidak masalah untuk mereka tidak mengikuti perintah. Karena lagi lagi
esensi dalam hak pemilihan adalah yang paling membawa mashlahat.[2]
Untuk yang terakhir, marilah kita memilih pemimpin dengan pilihan 'merdeka', bukannya di'jajah' oleh doktrin atau faktor faktor external yang melemahkan pendirian kita.
Wallahu a'lam
MyM Arch
0 comments: