1. KETIKA KIAI ARWANI
AMIN DIPEREBUTKAN PARA BIDADARI SURGA
Kiai Arwani
Amin, Kudus, Allahu yarham, beserta putra-putranya tidak habis pikir mengapa
akhir-akhir ini istri beliau sering uring-uringan. Padahal sebelum Kiai Arwani
sakit, istri beliau tidak pernah berperilaku demikian. Sebelumnya beliau justru
menjadi istri yang sangat lembut. Namun setelah Kiai Arwani sakit, keadaan
berbalik begitu drastis.
Karena
kebingungan, kedua putra Kiai Arwani sowan kepada Maulana Habib Luthfi di
Pekalongan. Kepada beliau mereka menyampaikan permasalahannya dan memohon
petunjuk.
“Ini
bagaimana, Habib ?,” keluh mereka.
Mendengar
penuturan keluarga Kiai Arwani ini, Habib Luthfi tidak segera berbicara.
Sejenak beliau terdiam lalu tersenyum.
“Nggak
apa-apa,” kata beliau
Kemudian
beliau melanjutkan, “Ibu kalian itu uring-uringan itu wajar. Dia lagi
cemburu.”
“Cemburu
bagaimana, Habib ?,” mereka tak memahami.
“Allah
SWT memberi Kasyaf (tersingkapnya tabir gaib) kepada ibu kalian sehingga dapat
melihat suaminya, yaitu abah kalian, sedang menjadi rebutan para bidadari,”
jelas Habib Lutfi.
Ketika kedua
putra Kiai Arwani pulang kembali ke rumah, mereka menanyakan kepada ibunya
perihal sering uring-uringannya itu. Sang ibu dengan tegas menjawab, “Bagaimana
tidak marah, lah wong setiap hari aku melihat Abahmu dipeluk perempuan
cantik-cantik !.”
Bila baru
sakit saja sudah menjadi rebutan bidadari, bagaimana nanti setelah meninggal
dunia ? .
(Cerita ini
dikisahkan oleh KH. Subhan Makmun, Rais Syuriyah PBNU, dalam kajian kitab
Tafsir al-Munir di Islamic Center Brebes, Ahad 7 Februari 2016)
Sumber:
Situs PBNU
2. KERENDAHAN HATI KIAI
ARWANI
Suatu hari,
KH. Ma’ruf Irsyad bersama Ibu Nyai Hj. Munijah sowan ke rumah KH. Arwani Amin
(Mbah Arwani). Di rumah Mbah Arwani, Kiai Ma’ruf dan Nyai Hj. Munijah dipersilakan
duduk di tempat yang telah disiapkan sebelumnya. Kiai Ma’ruf kaget, karena Mbah
Arwani justru duduk lebih rendah dari tempat yang disediakan itu.
Melihat
pemandangan tidak wajar itu, Kiai Ma’ruf bertanya, “Mbah Yai, njenengan
(Anda) kok duduk di bawah?.”
Mbah Arwani
menjawab tegas, “Yang datang ke rumah saya ini, istrinya teman guru saya.”
Tentu Kiai
Ma’ruf tak bisa berbuat apa-apa lagi mendapatkan perlakukan istimewa dari sang
guru, KH. Arwani Amin, yang selain Alim-Allamah, juga pernah disebut oleh Mbah
Hamid Pasuruan sebagai sosok waliyullah Kudus yang sangat dikenal akhlak
mulianya.
Tidak hanya
di ruang tamu, ketika pulang pun, Kiai Ma’ruf tambah dibuat heran dan kagum.
Jalan menuju pulang penuh dengan kerikil batu yang mengganggu. Tanpa diduga,
Mbah Arwani menyingkirkan kerikil tersebut dengan tangannya sendiri, tidak
memerintah kang santri agar perjalanan pulang istri teman gurunya lancar.
“Mbah
Yai, ampun, sudah-sudah, tidak usah Mbah Yai,” kata Kiai Ma’ruf.
“Sudah,
diam saja,” sahut Mbah Arwani dengan tetap menyingkirkan kerikil yang
sebetulnya tidak perlu.
Cerita di
atas dituturkan sendiri oleh KH. Ma’ruf Irsyad di sela-sela mulang ngaji santri
di Pondok Pesantren Raudlatul Muta’allimin (PPRM), Jagalan Kudus.
Apa yang
dilakukan oleh Mbah Arwani tersebut bukan sesuatu yang berlebihan dan sia-sia.
Itu adalah teladan berharga atas akhlak mulia dan hormatnya seorang alim kepada
istri teman gurunya. Bayangkan, bukan gurunya, tapi istri teman dari gurunya.
Nyai Hj.
Munijah, ibu Kiai Ma’ruf Irsyad, adalah istri KH. Irsyad yang berteman akrab
dengan guru KH. Arwani Amin yang bernama Mbah Manshur, Popongan, Klaten. Kepada
Mbah Manshur yang asli Mranggen inilah Kiai Arwani belajar thariqah
Sumber:
santrimenara.com
3. KEMULIAAN AKHLAK KH.M.
ARWANI AMIN
KH. Muhammad
Arwani Amin, sosok ulama kharismatik yang lahir di Kudus, Selasa Kliwon, 5
Rajab 1323 H, bertepatan dengan 5 September 1905 M. Selain masyhur sebagai
seorang ulama yang sangat mencintai Al-Qur’an, pendiri Pondok Tahfidz Yanbu’ul
Qur’an tersebut juga dikenal karena memiliki akhlak dan etiket yang sangat
patut untuk dijadikan teladan.
Dalam
keseharian KH. Muhammad Arwani Amin, atau masyarakat sekitar biasa memanggil
dengan sebutan Mbah Arwani, sangat memuliakan tetangga, para tamu, bahkan
seorang pedagang yang menawarkan barang dagangan ke rumahnya. Semua kalangan
dari berbagai lapisan masyarakat, mulai dari pejabat, pengusaha, hingga
masyarakat biasa mendapat penghormatan yang sama. Mbah Arwani memuliakan mereka
tanpa memandang status sosialnya.
Pernah suatu
ketika ada pedagang sarung yang datang ke rumah beliau dan menawarkan sebuah
sarung biasa (murah) tetapi pedagang tersebut mematok harga yang sangat tinggi.
Khadim beliau, yaitu KH. Muhammad Manshur yang mengetahui hal tersebut lantas
matur (bilang) kepada Mbah Arwani, “Sebenarnya harga sarung itu murah, Mbah.
Jenengan sudah ditipu oleh pedagang itu.”
Lantas Mbah
Arwani menjawab, “Biarkan saja, harusnya kita tetap bersyukur. Syukurlah
bukan kita yang dijadikan Allah sebagai penipu.”
Mbah Arwani
juga sering melakukan hal-hal yang semestinya “tidak perlu” beliau
lakukan.
Dikisahkan
dari pengalaman seorang yang pernah bertamu di rumah Mbah Arwani. Setiap
lebaran saya sowan (silaturrahim) ke rumah Mbah Yai. Tamu-tamu yang datang
tentu bukan hanya saya, banyak sekali. Ketika rombongan kami masuk ke ruang
tamu, langsung disambut beliau dengan keramahan. Setelah kami duduk, beliau
mohon pamit sebentar, lalu menuju pintu dari mana tadi kami masuk.
"Apa
yang dilakukan beliau ?," batin saya. Saya terkejut ternyata beliau
menata dan merapikan sandal-sandal kami.
Menurut KH.
Sya’roni Ahmadi (Mustasyar PBNU) yang juga merupakan salah satu santri Mbah
Arwani berpendapat, setidak-tidaknya ada tiga hal yang sangat menonjol pada
diri KH. Muhammad Arwani Amin. Pertama, kedalaman ilmu pengetahuan agama
(Islam), terutama pengetahuan terhadap ilmu-ilmu Al-Qur’an.
Kedua,
ketawadhu’annya. Sebagai seorang Ulama besar yang sudah dikenal masyarakat
luas, Mbah Arwani tetap rendah hati dan selalu hormat kepada setiap orang
dengan tanpa melihat apakah ia orang terpandang atau hanya orang biasa. Ketika
KH. Raden Asnawi masih hidup, beliau pernah menganjurkan kepada KH. Muhammad
Arwani Amin agar mendirikan pondok, tapi beliau menolak dengan alasan di Kudus
sudah banyak pondok. Beliau hanya akan urun mengajar saja. Hal ini sebenarnya
menunjukkan ketawadukan dan kehalusan perasaannya.
Ketiga,
salah satu prinsip hidup beliau adalah “Idkhalus Surur” artinya, beliau
selalu berusaha untuk menyenangkan dan menggembirakan orang. Itulah sebabnya,
dalam pergaulan beliau senantiasa berperilaku yang membuat orang senang
karenanya. Sebaliknya, beliau paling tidak suka merepotkan orang lain.
Di samping
kealiman Mbah Arwani sebagai seorang ulama, beliau senantiasa menjunjung tinggi
sikap rendah hati dan memuliakan orang lain. Ihwal akhlak dan etiket beliau
yang telah dipaparkan di atas, sudah semestinya kita jadikan teladan dalam
berperilaku bermasyarakat. Al-Fatihah.
Sumber :
Situs PBNU
Wallahu
A’lam
Dari Agus H.
Aniq Muhammad Makki, Lc