Sunday, October 27, 2019

CerbungSantri,MbalekPondok

Santri, Mbalek Pondok

#01
#Kelompok03

 Jalan didepan semakin tak jelas. Jalan setapak dengan rumput yang tebal disampingnya. Lumayan tinggi, sekitar lutut orang dewasa. Menurun dan naik, kukira ini adalah jalan pemotong sebuah selokan atau sungai yang kering. Aku berlari menyertai jalan menurun, sambil sebagai pelumas menambah tenaga untuk naik. Dan kulega sampai diatas.
            “Jam berapa ini, ya?” Ku bertanya pada diri sendiri. Sudah biasa aku jalan pagi-ngembun, jawa- seperti ini. Sendiri tanpa siapa-siapa.
            Jalan sudah sama seperti semula. Jalan yang sedikit besar, muat untuk satu mobil. Ku berjalan terus. Matahari mulai tinggi. Sinarnya mulai samar menerobos di sela daun. Kukira
Ilustrator : M. Jihad Nur Alim



 matahari sudah maksimal bersinar, hanya saja pohon besar dan kecil begitu yang banyak dan runggut sekali membuat sinar tak bisa tembus. Kuterus berjalan. Sesekali aku harus menahan rasa nyeri karena jalan batu terkadang lancip juga.
            Jauh disana kulihat jalan mulai halus, mulus. Aku mulai lega, setidaknya tinggal setengah jalan lagi sampai tujuan. Kupercepat langkahku. Terbayang jalan halus dan nyaman membuatku kebal dari lancipnya batu-batu jalan ini.
            Ku sampai di jalan halus.
            “Bu, mau nanya, kalau ke desa Ngetuk lewat jalan yang mana?” Di depan ada pertigaan. Kutemui  Nenek yang sedang mencari kayu. Sejak jalan yang halus tadi, sudah mulai terlihat tanda kehidupann disini. Ada sebuah gubuk kecil di kanan jalan dan gudang pembuatan gula tebu di kiri jalan.
            “Tidak bisa, Nak. Semua jalan ini buntu.” Kata Nenek tadi.
            “Lho, emang ini desa apa, Bu?”
            “Desa Pelari.” Jawab Nenek singkat.
            “Hm.. Makasih, Bu.” Aku mencoba berjalan menghampiri pertigaan jalan terlebih dahulu. Hanya menuruti rasa ingin tau.
            Deg, kaget aku. Kulihat kekanan dan kekiri. Aneh. Sama seperti kata Nenek tadi -ini adalah desa Pelari- ,semua warga beraktifitas dengan berlari. Anak-anak berangkat sekolah dengan berlari. Ibu-ibu yang membawa tas cangking memakai rok panjang –mungkin mau ke pasar- pun berlari, bahkan ada seorang Nenek yang berlari juga mengantar sebuah nampan berisi kue. Hanya Nenek yang kutanyai tadi yang tidak berlari.
            Aku menoleh ke belakang. Kupastikan Nenek yang kutanyai tadi tetap tidak berlari. Hanya saja, tak kulihat lagi. Padahal jalan di belakangku lurus. Pohon di sekitar jalan pun renggang, seharusya masih terlihat si Nenek tadi. Jalannya yang lambat pun, kukira tak memungkinkan secepat ini menghilang dari pandanganku. Aku takut….
***
Deg.. Deg… Deg…


            “Kul, cepet mandi, ayo berangkat ke buka luwur Sunan Kudus!”  Bapak mengetuk pintu kamarku. Jam sudah mepet, aku tak bisa melanjutkan cerpen fiksi ini. Biar kulanjutkan besok saja.

M.Nasihul Umam

Tunggu kelanjutan ceritanya
Part 2


Previous Post
Next Post

0 comments: