Santri, Mbalek Pondok
#01
#Kelompok03
Jalan didepan semakin tak jelas. Jalan setapak
dengan rumput yang tebal disampingnya. Lumayan tinggi, sekitar lutut orang
dewasa. Menurun dan naik, kukira ini adalah jalan pemotong sebuah selokan atau
sungai yang kering. Aku berlari menyertai jalan menurun, sambil sebagai pelumas
menambah tenaga untuk naik. Dan kulega sampai diatas.
“Jam berapa ini, ya?” Ku bertanya
pada diri sendiri. Sudah biasa aku jalan pagi-ngembun, jawa- seperti ini.
Sendiri tanpa siapa-siapa.
Jalan
sudah sama seperti semula. Jalan yang sedikit besar, muat untuk satu mobil. Ku
berjalan terus. Matahari mulai tinggi. Sinarnya mulai samar menerobos di sela daun.
Kukira
Ilustrator : M. Jihad Nur Alim |
Jauh disana kulihat jalan mulai
halus, mulus. Aku mulai lega, setidaknya tinggal setengah jalan lagi sampai
tujuan. Kupercepat langkahku. Terbayang jalan halus dan nyaman membuatku kebal
dari lancipnya batu-batu jalan ini.
Ku sampai di jalan halus.
“Bu, mau nanya, kalau ke desa Ngetuk
lewat jalan yang mana?” Di depan ada pertigaan. Kutemui Nenek yang sedang mencari kayu. Sejak jalan yang
halus tadi, sudah mulai terlihat tanda kehidupann disini. Ada sebuah gubuk
kecil di kanan jalan dan gudang pembuatan gula tebu di kiri jalan.
“Tidak bisa, Nak. Semua jalan ini
buntu.” Kata Nenek tadi.
“Lho, emang ini desa apa, Bu?”
“Desa Pelari.” Jawab Nenek singkat.
“Hm.. Makasih, Bu.” Aku mencoba
berjalan menghampiri pertigaan jalan terlebih dahulu. Hanya menuruti rasa ingin
tau.
Deg, kaget aku. Kulihat kekanan dan
kekiri. Aneh. Sama seperti kata Nenek tadi -ini adalah desa Pelari- ,semua
warga beraktifitas dengan berlari. Anak-anak berangkat sekolah dengan berlari.
Ibu-ibu yang membawa tas cangking memakai rok panjang –mungkin mau ke pasar-
pun berlari, bahkan ada seorang Nenek yang berlari juga mengantar sebuah nampan
berisi kue. Hanya Nenek yang kutanyai tadi yang tidak berlari.
Aku menoleh ke belakang. Kupastikan
Nenek yang kutanyai tadi tetap tidak berlari. Hanya saja, tak kulihat lagi.
Padahal jalan di belakangku lurus. Pohon di sekitar jalan pun renggang, seharusya
masih terlihat si Nenek tadi. Jalannya yang lambat pun, kukira tak memungkinkan
secepat ini menghilang dari pandanganku. Aku takut….
***
Deg..
Deg… Deg…
|
0 comments: