Kritikan adalah hal yang wajar bagi manusia. Karena mereka memang mereka diciptakan dengan penuh kekurangan (walaupun mereka adalah sebaik-baik makhluk). Kekurangan-kekurangan tersebut dapat ditambal sedikit demi sedikit melalui kritikan.
Yang
tidak wajar adalah bagaimana mungkin manusia, yang penuh kekurangan ini, saling
menghin, saling menyalahkan? Sudah tahu salah tambah disalahkan. Terus untuk
apa Gusti berfirman وَأَصْلِحُوا۟ ذَاتَ بَيْنِكُمْ ?
Dan yang paling tidak wajar lagi, ada manusia –mungkin banyak-
yang menerima hinaan dan ejekan tersebut. Seolah-olah membenarkan apa yang
disandarkan pada mereka. Kepikiran jadi, stress akhirnya.
Dalam ilmu psikologi, hal ini tak luput
dari cakupan studi mereka. Ada manusia bertipe proaktif dan ada juga yang
bertipe reaktif. Untuk yang pertama -proaktif-, kritikan dan hinaan adalah
bahan bakar mereka untuk terus berkembang kearah yang lebih baik. Sistem otak
mereka telah terprogram untuk menerima stimulus negative menjadi output
positif.
Untuk yang kedua, kritikan dan
hinaan adalah sebuah batu besar di punggung mereka. Semakin banyak, semakin
down mereka. Mereka adalah tipe orang yang pasif, hanya melakukan sesuatu jika
ada komando, dan sangat bergantung pada orang lain.
Yah…. intinya, terimalah kritikan
jika memang membangun. Jika arahnya menjatuhkan, biar sajalah. Toh yang
mengkritik masih manusia juga yang masih punya kekurangan. Dalam Al-Hikam
didawuhaken bahwa مساوية محاسنهم ‘kebaikan
adalah kejelekan (bagi yang lain)’. Apalagi kejelekan mereka?
Oleh: Muhammad Alawy Mahfudz