Kemeriahan hari santri sudah jauh terasa sejak beberapa hari sebelum hari santri. Yakni, pada tanggal 22 Oktober. Ada yang meramaikannya dengan lomba lomba. Seperti MQK, MTQ, rebbana, dan lain lain. Ada juga yang menyambut hari santri dengan cara beriarah ke makam makam masyayikh. Ada juga yang merayakannya dengan cara khotmil Qur’an.
Kemudian, di tanggal 22 Oktober, orang yang merasa diri mereka santri, banyak yang mengupload story. Di akun medsos mereka mengucap “Selamat hari santri, bla… bla… bla…” Kemudian, setelah melihat peristiwa peristiwa itu, tiba tiba muncul fikirin di benak saya. Apakah saya pantas disebut santri? Apakah saya pantas diikutkan ke dalam gerbong santri kelak di akhirat. Sedangkan salah satu Ulama’ pernah berkata, yang kurang lebihnya, “Gimana kamu menyebut dirimu santri, yang sudah berlalu empat puluh malam. Dan tidak sekali pun, kamu memimpikan nabi Muhammad.”
Setelah merenung beberapa saat, memang tidak pantas diri ini disebut santri. Karena, akhlak saya memang jauh dari akhlak para santri. Perbuatan dan ucapan saya jauh dibawah para santri, dan ini tidak sok tawadhu’. Tapi, memang begitu lah realitanya.
Namun, tidak berselang lama, saya ingat perkataan Habib Umar bin Hafidz dalam kitabnya, yang menjelaskan pegertian Sufi. Ada orang yang memang sudah pantas disebut sufi. Lalu, setelahnya, ada orang yang berusaha dengan sungguh sungguh mengikuti jalan para sufi dan terakhir, ada orang yang ngembo ngembo seperti para sufi. Entah dalam pakaiannya, sedikit perkataannya, dan secuil perbuataannya.
Sudah fiks diri ini, tidak pantas disebut sebagai santri. Karena derajat santri yang begitu tingginya dan terhormat. Namun, lebih elok disebut orang yang ngembo ngembo seperti santri.
Ia meskipun hanya jadi متشبه بهم semoga kelak di akhirat. Saya dikumpulkan bersama mereka para santri. Aaamiinnn…
Oleh : FIki Ishbahul Haq