Di sebuah desa yang sangat pelosok dan sangat jauh dari hiruk pikuk kota, sedang berkumpul semua masyarakatnya di suatu lapangan. mereka mempermasalahkan masalah kedatangan seorang petinggi dari kota kemarin, yang katanya kalau desa mereka ingin dianggap, maka mereka harus memiliki Kepala Desa. sedangkan kepala desa sebelumnya sudah kabur lama dan tak tahu rimbanya. jadi mereka sedang sibuk bersahut-sahutan bingung, menunjuk siapa orang di desa mereka yang pantas menjadi Kepala Desa.
Mamet yang sedang pulang kampung dari kota dan melihat ada rame-rame di lapangan, langsung menuju lapangan, bertanya-tanya ada apa di lapangan. kenapa semua warga berkumpul di lapangan dan terlihat sedang mempermasalahkan suatu permasalahan yang serius. karena di lihat dari kejauhan mereka seperti segerombolan semut yang sedang berkerumun dan di ganggu manusia. sehingga terlihat ada yang berlari kesana kemari, ada yang diam saja, ada yang tabrak-tabrakan, ada yang tubruk-tubrukan, dan lain sebagainya. padahal di desanya selalu damai, aman, dan tentram. tak seperti biasanya, pikirnya.
“Assalamuailakum”. teriak Memet memecah keramaian. hening seketika, seperti ada berita kematian. semua mata memandang kearah Memet, semua saling pandang, sebelum akhirnya saling mengangguk, “Waalaikumussalam”. jawab mereka serempak.
jadilah Memet kepala desa dadakan di desanya, karena hanya Memetlah yang pernah ke kota dan bekerja di sana. dan jadilah Memet menjalani hari-hari berikutnya menjadi kepala desa.
di hari ke 3 dia menjadi kepala desa, seperti biasa, Memet berangkat pagi-pagi sekali, memastikan apakah kantornya sudah bersih apa belum. karena jiwanya memang jiwa pembantu, jadi dia ingin semua tempat yang ia singgahi benar-benar steril dari noda seperti halnya rumah majikannya. tak lupa, dia juga memakai seragam kebesarannya sebagai kepala desa, yaitu hem putih di balut dengan jas hitam lengkap dengan dasi merah, celana kain warna hitam, dan sepatu pantofel dengan warna senada bekas dari majikannya dari kota yang ia ambil di tempat sampah. kalau dilihat, dia sedikit mirip dengan foto Pak Jokowi yang di pajang di kelas-kelas, bedanya kalau rambut Pak Jokowi terlihat rapi dan klimis, sedangkan rambut Memet terlihat keriting dan awut-awutan. tapi sepertinya ada yang sedikit berbeda dari Memet hari itu, ya, di jari tengah tangan kanannya ada cincin akik berwarna merah kehitam-hitaman.
di tengah jalan, Memet bertemu Mpok Ima yang mau pergi ke kebun. melihat Mpok Ima, Memet segera melaksanakan salah satu progamnya –seperti yang sudah ia lakukan pada 2 hari sebelumnya setiap bertemu warga- yaitu 3S yang artinya Senyum, Salam, dan Sapa. tapi kali ini reaksi Mpok Ima berbeda, dia malah melihat Memet dengan tatapan tajam kearahnya, lebih tepatnya kearah jari tengah tangan kananya Memet, lebih tepatnya lagi kearah cincin akik punya Memet. hingga kemudian mpok Ima pergi meninggalkan Memet dengan tergesa-gesa. Memet yang tak tahu apa-apa bingung, kenapa mpok Ima jadi begitu. mungkin terburu-buru, pikirnya. iapun dengan santai lanjut berjalan ke kantornya.
ketika Memet sedang duduk santai di kantornya, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak-teriak dari luar. tak hanya satu orang, dua orang, atau tiga orang tapi berorang-orang, maksudnya puluhan entah ratusan. karena suaranya seperti sekumpulan dengungan lebah yang sedang memburu musuhnya.
“TURUNKAN MEMET!! TURUNKAN MEMET!! TURUNKAN MEMET!!”. seruan itulah yang Memet dapat ketika ia keluar dari kantornya.
melihat Memet, mereka langsung menyerbu, membabi buta, dan melucuti pakaian Memet hingga hanya terlihat memakai CD warna hitam yang luntur dan ada bercak-bercak putihnya. “apa salah saya?”. melas Memet kepada semua warga yang sudah berkumpul di kantor balai desa.
“KAU TAK TAHU HAH?! CINCIN AKIK ITU!!”. bentak warga.
“kenapa dengan cincin akik saya?!”.
“CINCIN AKIK ITU MEMBUAT KAMI SEMUA IRI PADAMU, KARENA KAMI SEMUA TAK ADA YANG BISA MEMILIKINYA KARENA MAHAL!!”.
“tapi kan saya mendapatkannya tidak beli, saya dikasih majikan saya”.
“POKOKNYA KAMI TAK SETUJU!! KAU HARUS TURUN DARI KEPALA DESA!!”.
semua warga menyerukan suara yang sama, mulai dari anak kecil hingga dewasa, dari pemuda-pemuda hingga pemudi-pemudi, dari bapak-bapak hingga ibu-ibu, bahkan dari kakek-kakek hingga nenek-nenek. mereka menyerukan suara yang sama. Memet hanya bisa bergumam,”kalian ini macam orang yang nyuruh buat mading berhadiah, tapi langsung menetapkan orang suruhannya kalah dan dapat hukuman. karena satu alasan dan satu peraturan yang ia tidak ketahui”.
Oleh : Cupong Da Silva
TEN AT HOME - TITanium-ART® - T-anium-arts
ReplyDeleteTEN AT HOME. TANDA · IT'S titanium easy flux 125 ANALYTEN · TEN AT HOME · TANDA · IT'S ANALYTEN titanium razor · IT'S ANALYTEN mens titanium earrings · IT'S ANALYTEN · IT'S columbia titanium ANALYTEN · IT'S ANALYTEN burnt titanium · IT'S ANALYTEN.