Suatu hari, seorang kyai khos berpesan kepada para santri, "Ojo muncul sedurunge mencil", jangan unjuk diri sebelum menyepi, begitulah kira-kira makna harfiahnya. Wasiat singkat ini sarat pesan, pengingat untuk kemudian menjadi 'thoriqoh' menempa jiwa kepemimpinan.
"Ojo muncul" dapat ditafsir sebagai pesan agar tidak terburu-buru berada di depan. Seperti yang disebut Ki Hajar Dewantara; "ing ngarso Sung tulodho", yang berada di depan memberi keteladanan. di sini maqam atau tingkatan pemberi 'tuladha' tidak disandang sembarang orang, ada syarat ketat yang harus dikantongi dan proses yang kudu ditempuh.
Proses tersebut dijabarkan dalam paruh kalimat kedua, "sedurunge mencil", sebelum mengucilkan diri. mencil yang dimaksud disini tak hanya mengucilkan diri dari khalayak ramai. lebih dari itu, melainkan mengecilkan pikiran dan hati untuk menempuh proses tertentu.
Tafsir kata "mencil" untuk kemudian sampai pada maqam "muncul" dapat kita lacak dari lakon sufistik yang berdasar pada tiga hal. Kita mengenal "Takholli" (mengosongkan diri /kuras), "Tahalli" (mengisi diri/ isi), dan "Tajalli" (memancarkan nur ilahi/ mancur).
Tahapan pertama; "Takholli", dapat ditempuh dengan 'kholwat' atau tirakat lainnya, tujuannya untuk mengosongkan jiwa dari nafsu dan sifat-sifat negatif. Tahapan selanjutnya adalah "Tahalli", pengisian jiwa dengan sifat-sifat terpuji (Al akhlaq Al mahmudah). Kemudian terakhir adalah "Tajalli", memancarkan nur ilahi. Ini adalah buah dari proses pembersihan dan pengisian jiwa. Tahap terakhir ini dapat kita sebut "muncul" kemudian dua tahap sebelumnya, kuras dan isi adalah "mencil".
Meminjam metode sufistik ini kita memetik pesan bahwa, dalam menapaki tangga kepemimpinan (Tajalli/ muncul) harus dilalui dengan tantangan di kelas "Mencil" sebagai pembentuk kualitas dan karakter melalui tahapan "Takholli dan Tahalli".
Mungkin ini salah satu maksud dari pesan inspiratif syaikhina Ahmad Basyir (Allahu yarhamhu). "Enome rialat, tuwone nemu drajat". Atau lakon riyadhoh/ tirakat di waktu muda berarti "Mencil" untuk menghimpun ilmu dan menempa jiwa. Pada akhirnya ilmu dan kebesaran jiwa akan mengantarkan kita pada maqam muncul atau semakna dengan "Tuwone nemu drajat".
Semoga Allah senantiasa membimbing dan mempermudah kita dalam melakoni tahapan tirakat atau menjauh untuk kemudian mengabulkan doa kita:
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
Referensi: catatan penulis saat mengaji adab bersama ustadz Alawy Al- Hafidz.
Penulis: Yusrul Falah.