Setiap tahun, ada sebuah ritual ilmiah yang rutin dilakukan menjelang puasa, atau hari raya, yaitu penentuan awal bulan qamariyah. Ritual ini selalu diramaikan oleh beberapa kelompok dengan perbedaan penetapan dan metode yang digunakan. Bahkan, peristiwa ini sudah terjadi dari zaman penjajahan Belanda dulu. Dr. Snouck Hurgronje menyampaikan “Jangan heran jika di negeri ini (Hindia) hampir setiap tahun akan terjadi perbedaan penetapan awal lebaran dan Idul ‘Adha. Bahkan, perbedaan iru terkadang terjadi antara kampung kampung yang saling berdekatan.”
Pernyataan tersebut tidak mengherankan mengingat banyak aliran pemikiran yang berkembang di Indonesia mengenai metode penetapan ini, dengan hujjah masing masing setiap kelompok untuk menguatkan pendapatnya.
Secara garis besar, perbedaan ini dibagi menjadi 2 kelompok:
1. Kelompok yang berbasis pada ru’yatul hilal (melihat hilal secara langsung).
2. Kelompok yang berbasis pada hisab (Perhitungan dengan teori astronomis / falak).
Akan tetapi dalam 2 kelompok besar tersebut, muncul perbedaan lagi yang di dasari oleh perbedaan madzhab yang di anutnya. Mari kita bahas satu persatu.
1. Kelompok Ru’yatul Hilal
Kelompok ini berpegangan pada hasil rukyat pada tanggal 29, apabila sudah terlihat hilal, maka besok sudah memasuki tanggal 1, apabila hilal belum terlihat, maka harus istikmal (Menyempurnakan tanggal menjadi 30). Dalam perjalanannya, kelompok ini terbagi menjadi berbagai pecahan aliran, diantaranya :
A. Ru’yah Dalam Satu Negara
Aliran ini disebut juga ru’yah fi wilayatil hukmi (الرأية في ولاية الحكم ), yang berarti keputusan final hanya berlaku pada satu wilayah hukum negara. Sebagai contoh, apabila seorang muslim melihat hilal di Kabupaten Muko Muko Provinsi Bengkulu dan kesaksiannya diterima oleh negara, maka semua rakyat Indonesia wajib mengikuti hasil ru’yah tersebut. Sebaliknya, orang Thailand (misalnya) tidak wajib mengikuti hasil ru’yah tersebut karena sudah keluar dari teritorial hukum negara. Aliran ini dipegang kuat oleh Nahdlatul ‘Ulama dengan ketentuan hilal sudah mencapai 2 derajat atau lebih.
B. Ru’yah Internasional
Aliran ini berpendapat bahwa negeri negeri islam hakikatnya satu. Maka dimanapun muslim berada di seluruh dunia melihat hilal, maka semua muslim wajib mengikutinya tanpa melihat letak geografisnya. Misalnya, ada seorang muslim di Indonesia melihat hilal, maka muslim di Burundi, Zimbabwe, Smoalia wajib mengikuti hasil ru’yah ini. Dulu, aliran ini dipegang kuat oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
C. Ru’yah Makkah
Aliran ini hampir sama dengan ru’yah internasional, akan tetapi pusat acuan ru’yah nya berada di Kota Makkah. Yang menarik adalah, sebuah arahan yang menentang pendapat ini dari mantan mufti Arab Saudi sendiri, As Syaikh Abdul Aziz bin Baz saat di tanyai mahasiswa dari asia tentang perbedaan waktu Arab Saudi dan negara nya. “Hendaknya seorang Muslim Puasa dan berbuka bersama negerinya masing masing.” Arahan ini didasarkan pada pendapat imam Ahmad bin Hanbal yang berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117).
2. Kelompok Hisab
Kelompok ini berpegangan pada hasil perhitungan matematis dengan teori teori astronomis dan falakiyyah. Sama seperti kelompok ru’yah, kelompok hisab juga terdapat banyak cabang yang menjadikan hasil finalnya berbeda beda. Diantara cabang dari kelompok ini adalah :
A. Hisab Wujudul Hilal (وجود الهلال)
Kelompok ini berpendapat bahwa jika perhitungan sudah menyatakan hilal sudah diatas ufuk, maka esoknya sudah jatuh tanggal 1. Semua itu bisa diputuskan jauh jauh hari bahkan 1 abad yang lalu karena kelompok ini berpegang pada perhitungan tanpa harus menunggu hasil ru’yah tanggal 29. Intinya kalau menurut perhitungan sudah wujudul hilal, maka sudah masuk bulan berikutnya walaupun sangat kecil dibawah satu derajat. Aliran ini dipegang kuat oleh Muhammadiyyah.
B. Hisab Imkanur Ru’yah (امكانالرأية )
Kelompok ini selain menggunakan hisab, namun masih menjadikan ru’yah sebagai faktor utama. Walaupun secara perhitungan sudah menunjukkan hilal, namun masih mempertimbangkan fakta lapangan, apakah hilal sudah lebih dari 2 derajat atau belum. Mengapa harus 2 derajat ? karena dibawah itu akan sangat sulit dilihat walaupun dengan alat sekalipun (Standarisasi Imkanur Ru’yah adalah 2 Derajat).
Hisab ini dipegang kuat oleh Kementrian Agama RI dalam menentukan bulan baru. Maka, tidak asing bagi kita apabila hendak memasuki bulan Syawwal, Pemerintah Indonesia mengadakan sidang Istbat yang mengumpulkan berbagai pengamatan hilal dari berbagai wilayah Indonesia.
C. Hisab Jawa Asapon
Tidak ketinggalan, aliran lokal pun ikut andil dalam penentuan bulan baru. Asapon merupakan singkatan dari tahun Alif Selasa Pon, yang berarti Bedanya, aliran ini berpedoman pada kalender Jawa Islam yang berkembang di beberapa daerah di Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta. Secara ringkasnya, aliran ini menggunakan titen dalam menentukan awal bulan. Contoh : Jika 1 Suro jatuh pada Ahad Pon, maka 1 Bodo jatuh pada Ahad Wage. dst …
D. Hisab Jawa Aboge
Metodenya hampir sama dengan Hisab Asapon, hisab ini juga berkembang di daerah daerah Jawa seperti Banyumas. Bedanya, Hisab Asapon lebih dulu eksis dalam penentuan tahun dan bulan dariapda Aboge ini.
‘Ala kulli hal, meskipun terdapat banyak perbedaan dalam penentuan awal bulan, hasil final tetaplah mengikuti ulil amri (pemerintah). Maka dari itu, banyak kalender yang sudah menetapkan tanggal idul fitri dengan catatan ‘mengikuti pemerintah’ melalui sidang istbat nya. Hal ini wajar karena apabila sekelompok orang bebas menentukannya sendiri sendiri, maka yang terjadi adalah chaos pada saat penentuan awal bulan tanpa ada pihak yang mempersatukannya.
Landasannya adalah hadist Rasulullah -Sholla ‘alaih- Dari Abdullah bin Umar -radliya ‘anhu-:
(تراءى الناس الهلال، فأخبرت النبي صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام وأمر الناس بصيامه) رواه أبو داود، وصححه الحاكم وابن حبان.
"Orang orang mencari cari hilal (Ramadlan), Maka aku memberitahukan Nabi bahwa aku telah melihatnya. maka beliau pun berpuasa dan menyuruh orang orang untuk berpuasa."
Juga yang dilakukan seorang ‘arabiy saat melihat hilal ;
وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ
“Dari Ibnu ‘Abbas -radliya ‘anhuma- bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi -sholla ‘alaih-, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“ Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi pun memerintah, “Wahai Bilal, suruhlah manusia agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh perawi lima (Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).
Maka, sudah sepatutnya kita menghindarkan diri dari konflik akibat perbedaan pendapat dengan tetangga sebelah.
Oleh : Muh. Alawy Machfudz.