Thursday, June 22, 2023

Metode Penentuan Awal Bulan Di Indonesia


Setiap tahun, ada sebuah ritual ilmiah yang rutin dilakukan menjelang puasa, atau hari raya, yaitu penentuan awal bulan qamariyah. Ritual ini selalu diramaikan oleh beberapa kelompok dengan perbedaan penetapan dan metode yang digunakan. Bahkan, peristiwa ini sudah terjadi dari zaman penjajahan Belanda dulu. Dr. Snouck Hurgronje menyampaikan “Jangan heran jika di negeri ini (Hindia) hampir setiap tahun akan terjadi perbedaan penetapan awal lebaran dan Idul ‘Adha. Bahkan, perbedaan iru terkadang terjadi antara kampung kampung yang saling berdekatan.”

Pernyataan tersebut tidak mengherankan mengingat banyak aliran pemikiran yang berkembang di Indonesia mengenai metode penetapan ini, dengan hujjah masing masing setiap kelompok untuk menguatkan pendapatnya.

Secara garis besar, perbedaan ini dibagi menjadi 2 kelompok:

    1. Kelompok yang berbasis pada ru’yatul hilal (melihat hilal secara langsung).

    2. Kelompok yang berbasis pada hisab (Perhitungan dengan teori astronomis / falak).

Akan tetapi dalam 2 kelompok besar tersebut, muncul perbedaan lagi yang di dasari oleh perbedaan madzhab yang di anutnya. Mari kita bahas satu persatu.

1. Kelompok Ru’yatul Hilal

Kelompok ini berpegangan pada hasil rukyat pada tanggal 29, apabila sudah terlihat hilal, maka besok sudah memasuki tanggal 1, apabila hilal belum terlihat, maka harus istikmal (Menyempurnakan tanggal menjadi 30). Dalam perjalanannya, kelompok ini terbagi menjadi berbagai pecahan aliran, diantaranya : 

        A. Ru’yah Dalam Satu Negara 

Aliran ini disebut juga ru’yah fi wilayatil hukmi (الرأية في ولاية الحكم ), yang berarti keputusan final hanya berlaku pada satu wilayah hukum negara. Sebagai contoh, apabila seorang muslim melihat hilal di Kabupaten Muko Muko Provinsi Bengkulu dan kesaksiannya diterima oleh negara, maka semua rakyat Indonesia wajib mengikuti hasil ru’yah tersebut. Sebaliknya, orang Thailand (misalnya) tidak wajib mengikuti hasil ru’yah tersebut karena sudah keluar dari teritorial hukum negara. Aliran ini dipegang kuat oleh Nahdlatul ‘Ulama dengan ketentuan hilal sudah mencapai 2 derajat atau lebih.

        B. Ru’yah Internasional 

Aliran ini berpendapat bahwa negeri negeri islam hakikatnya satu. Maka dimanapun muslim berada di seluruh dunia melihat hilal, maka semua muslim wajib mengikutinya tanpa melihat letak geografisnya. Misalnya, ada seorang muslim di Indonesia melihat hilal, maka muslim di Burundi, Zimbabwe, Smoalia wajib mengikuti hasil ru’yah ini. Dulu, aliran ini dipegang kuat oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

          C. Ru’yah Makkah

Aliran ini hampir sama dengan ru’yah internasional, akan tetapi pusat acuan ru’yah nya berada di Kota Makkah. Yang menarik adalah, sebuah arahan yang menentang pendapat ini dari mantan mufti Arab Saudi sendiri, As Syaikh Abdul Aziz bin Baz saat di tanyai mahasiswa dari asia tentang perbedaan waktu Arab Saudi dan negara nya. “Hendaknya seorang Muslim Puasa dan berbuka bersama negerinya masing masing.” Arahan ini didasarkan pada pendapat imam Ahmad bin Hanbal yang berkata: “Seseorang (hendaknya) bershaum bersama penguasa dan jamaah (mayoritas) umat Islam, baik ketika cuaca cerah ataupun mendung.” Beliau juga berkata: “Tangan Allah Subhanahu wa Ta’ala bersama Al-Jama’ah.” (Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juz 25, hal. 117).

2. Kelompok Hisab 

Kelompok ini berpegangan pada hasil perhitungan matematis dengan teori teori astronomis dan falakiyyah. Sama seperti kelompok ru’yah, kelompok hisab juga terdapat banyak cabang yang menjadikan hasil finalnya berbeda beda. Diantara cabang dari kelompok ini adalah : 

        A. Hisab Wujudul Hilal (وجود الهلال)

Kelompok ini berpendapat bahwa jika perhitungan sudah menyatakan hilal sudah diatas ufuk, maka esoknya sudah jatuh tanggal 1. Semua itu bisa diputuskan jauh jauh hari bahkan 1 abad yang lalu karena kelompok ini berpegang pada perhitungan tanpa harus menunggu hasil ru’yah tanggal 29. Intinya kalau menurut perhitungan sudah wujudul hilal, maka sudah masuk bulan berikutnya walaupun sangat kecil dibawah satu derajat. Aliran ini dipegang kuat oleh Muhammadiyyah. 

        B. Hisab Imkanur Ru’yah (امكانالرأية )

Kelompok ini selain menggunakan hisab, namun masih menjadikan ru’yah sebagai faktor utama. Walaupun secara perhitungan sudah menunjukkan hilal, namun masih mempertimbangkan fakta lapangan, apakah hilal sudah lebih dari 2 derajat atau belum. Mengapa harus 2 derajat ? karena dibawah itu akan sangat sulit dilihat walaupun dengan alat sekalipun (Standarisasi Imkanur Ru’yah adalah 2 Derajat). 

Hisab ini dipegang kuat oleh Kementrian Agama RI dalam menentukan bulan baru. Maka, tidak asing bagi kita apabila hendak memasuki bulan Syawwal, Pemerintah Indonesia mengadakan sidang Istbat yang mengumpulkan berbagai pengamatan hilal dari berbagai wilayah Indonesia.

        C. Hisab Jawa Asapon

Tidak ketinggalan, aliran lokal pun ikut andil dalam penentuan bulan baru. Asapon merupakan singkatan dari tahun Alif Selasa Pon, yang berarti Bedanya, aliran ini berpedoman pada kalender Jawa Islam yang berkembang di beberapa daerah di Jawa, khususnya Keraton Yogyakarta. Secara ringkasnya, aliran ini menggunakan titen dalam menentukan awal bulan. Contoh : Jika 1 Suro jatuh pada Ahad Pon, maka 1 Bodo jatuh pada Ahad Wage. dst …

        D. Hisab Jawa Aboge 

Metodenya hampir sama dengan Hisab Asapon, hisab ini juga berkembang di daerah daerah Jawa seperti Banyumas. Bedanya, Hisab Asapon lebih dulu eksis dalam penentuan tahun dan bulan dariapda Aboge ini.

‘Ala kulli hal, meskipun terdapat banyak perbedaan dalam penentuan awal bulan, hasil final tetaplah mengikuti ulil amri (pemerintah). Maka dari itu, banyak kalender yang sudah menetapkan tanggal idul fitri dengan catatan ‘mengikuti pemerintah’ melalui sidang istbat nya. Hal ini wajar karena apabila sekelompok orang bebas menentukannya sendiri sendiri, maka yang terjadi adalah chaos pada saat penentuan awal bulan tanpa ada pihak yang mempersatukannya. 

Landasannya adalah hadist Rasulullah -Sholla ‘alaih- Dari Abdullah bin Umar -radliya ‘anhu-: 

 (تراءى الناس الهلال، فأخبرت النبي صلى الله عليه وسلم أني رأيته، فصام وأمر الناس بصيامه) رواه أبو داود، وصححه الحاكم وابن حبان.

"Orang orang mencari cari hilal (Ramadlan), Maka aku memberitahukan Nabi bahwa aku telah melihatnya. maka beliau pun berpuasa dan menyuruh orang orang untuk berpuasa."


Juga yang dilakukan seorang ‘arabiy saat melihat hilal ;

وَعَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ أَعْرَابِيًّا جَاءَ إِلَى اَلنَّبِيِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ: – إِنِّي رَأَيْتُ اَلْهِلَالَ, فَقَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اَللَّهُ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” أَتَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اَللَّهِ? ” قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: ” فَأَذِّنْ فِي اَلنَّاسِ يَا بِلَالُ أَنْ يَصُومُوا غَدًا” – رَوَاهُ  اَلْخَمْسَةُ

“Dari Ibnu ‘Abbas -radliya ‘anhuma- bahwa seorang Arab Badui ada pernah datang menemui Nabi -sholla ‘alaih-, ia pun berkata, “Aku telah melihat hilal.” Nabi bertanya, “Apakah engkau bersaksi bahwa tiada tuhan yang berhak disembah selain Allah?” Ia menjawab, “Iya.” “Apakah engkau bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah?“ Ia pun menjawab, “Iya.” Nabi pun memerintah, “Wahai Bilal, suruhlah manusia agar mereka besok berpuasa.” Diriwayatkan oleh perawi lima (Abu Daud, An Nasai, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Maka, sudah sepatutnya kita menghindarkan diri dari konflik akibat perbedaan pendapat dengan tetangga sebelah.


Oleh : Muh. Alawy Machfudz.

Sunday, June 18, 2023

Antara Budaya, Agama, dan Negara


Ketika kita mendengar kata ‘budaya’ kita bertanya-tanya “apa sih budaya itu?” Kebanyakan dari kita hanya mengenal budaya bagian luarnya saja tidak sampai ke akar-akarnya. Ibarat seorang ilmuan yang hanya mengetahui jaringan epidermis pada batang, sedangkan bagian korteks, endodermis, perisikel, dan stelenya tidak dihiraukan. Sehingga kita tidak tahu hakikat budaya. Untuk mengetahui hakikat budaya dibutuhkan yang namanya pendalaman terhadap aspek terkait. Dengan begitu kita juga akan tahu hubungan-hubungannya sekaligus penerapannya

Maka dari itu mari kita mengenal seputar budaya dan apa yang terkait dengannya. Cekidot…

1.  Hubungan antara budaya dan agama

Relasi antara agama dan budaya menurut pandangan penulis yaitu agama menyebarkan ajarannya salah satunya melalui budaya dan budaya membutuhkan agama untuk melestarikannya. Agama tidak serta-merta menghapus budaya dalam masyarakat, yang beberapa memang tidak sesuai dan bertolak belakang dengan nilai-nilai agama. Akan tetapi, agama lebih menggunakan budaya untuk media dakwah sekaligus masuk dalam budaya dengan menyesuaikan apa yang boleh atau sesuai dengan ajarannya.

Di sini agama berperan untuk memfiltrasi berbagai norma dan nilai dari kebudayaan, misalkan: budaya wayang, tumpengan, Sedekah laut, budaya ’nganteuran’ dan sebagainya. Ini juga meliputi relasi antara manusia dengan alam, atau antara manusia dengan makhluk lainnya, seharusnya bukan merupakan relasi antara penakluk dengan yang ditaklukan, hamba dengan tuannya, melainkan sebuah relasi harmonis, yang mengutamakan kebersamaan, cinta dan kasih sayang. Hal ini pun pada dasarnya telah diajarkan oleh agama, interaksi yang bersifat harmonis itu, adalah interaksi yang saling memperhatikan perkembangan situasi antara satu dengan yang lainnya. Ini merupakan prinsip pokok yang merupakan landasan interaksi antara manusia dengan makhluk lainnya, termasuk kepada alam, dan keharmonisan hubungan ini pula yang menjadikan tujuan dari segala etika agama (Haidi Hajar Widagdo, Sebuah Upaya Penyelarasan antara Budaya Mistis dengan Pelestarian Lingkungan,2012). [1]

2. pentingnya budaya terhadap keberlangsungannya ketatanegaraan.

Kebudayaan memiliki peran dan fungsi yang sentral dan mendasar sebagai landasan utama dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara karena suatu bangsa akan menjadi besar jika nilai-nilai kebudayaan telah mengakar dalam semua lini kehidupan masyarakat. 

Indonesia sebagai negara kepulauan adalah bangsa yang memiliki kekayaan dan keragaman budaya nusantara yang merupakan daya tarik tersendiri di mata dunia.

Seharusnya hal ini dapat dijadikan modal untuk menaikkan citra bangsa di mata dunia sekaligus nilai-nilai fundamental yang berfungsi merekatkan persatuan. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebudayaan merupakan salah unsur sentral bagi suatu bangsa karena melalui kebudayaan, identitas dan jati diri suatu bangsa dapat terejawantahkan.

Oleh : _yusrulfalah_

[1] Penyelarasan Agama Dan Budaya (https://bdkjakarta.kemenag.go.id/berita/penyelarasan-agama-dan-budaya)


Thursday, June 15, 2023

Semua yang Diciptakan Allah Pasti Ada Faedahnya..



Beberapa hari lalu, aku pernah bertanya pada guruku perihal suatu masalah yang sedang kuhadapi (gak usah kepo masalahnya apa). Yang pada akhirnya guruku memberi sebuah jawaban yang lalu kujadikan pegangan pribadiku kedepannya. So... siapa tau dengan postingan ini, harapanku jawaban guruku bisa memberi manfaat pada kalian sebagaimana jawaban ini memberi manfaat padaku. 


Pada intinya, hidup kita itu pasti mengalami siklus, sebagaimana air laut yang kadang surut dan juga kadang pasang. Juga sebagaimana hari yang bisa terang ketika pagi dan juga bisa gelap ketika malam. Hidup kita pun kadang di atas kadang juga di bawah, ada suka dan duka, bahagia dan nestapa. 


So... di segala fase kehidupan itu, kita harus percaya bahwa ada Allah di sana, setiap kali kita di atas ada Allah yang sedang ingin kita bersyukur pada-Nya. Dan di setiap kali kita di bawah ada Allah yang sedang ingin kita bersabar menghadapi cobaan-Nya. 


Dan percayalah, bahwa ketika kita sedang di atas nanti pasti ada masanya kita berada di bawah. So... jangan terlalu larut dalam kebahagiaan saat kita di atas. Dan yakinlah, bahwa saat kita ada di bawah pasti ada masanya Allah akan menempatkan kita di atas. So... jangan sampai kita putus asa pada rahmat-Nya. 


Yang sering jadi masalah kita adalah, pada saat kita menghadapi fase kehidupan yang silih berganti itu, kita lupa ada Allah di balik semuanya. Akhirnya saat kita bahagia, kita larut sampai merasa kebahagiaan itu tidak akan pernah hilang. Dan saat kita nestapa, kita larut sampai merasa bahwa cobaan itu tidak akan pernah selesai. Tapi saat kita paham bahwa ada Allah di balik semuanya, maka saat kita diterpa cobaan atau mendapat kebahagiaan, kita bisa menempatkan diri kita pada porsi sedih dan bahagia yang semestinya (tidak terlalu berlebihan). 


Lagipun, semua hal yang kita anggap baik berarti menuntut kita untuk berlatih bersyukur. Dan semua hal yang tidak terlalu baik berarti menuntut kita untuk berlatih tidak berputus asa pada-Nya. Teringat sebuah hadits Nabi yang diriwatkan oleh Shohabat Shuhaib yang berbunyi :


عَنْ صُهَيْبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ :  [عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَاكَ لِأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ]

Artinya : “Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin. Sesungguhnya seluruh urusannya itu baik, dan hal itu tidak dimiliki kecuali oleh seorang mukmin. Apabila dia mendapatkan nikmat dia bersyukur dan itu baik baginya. Dan apabila dia mendapatkan musibah dia sabar dan itu baik baginya.” (HR. Muslim, No. 5318).

Hehe....  Udah kayanya itu doang

Have a nice day you all!!!


Oleh : Muhammad Rafly


Sunday, June 11, 2023

Serial Si Memet : Kulit Jeruk


Sore itu, sore pertama bulan Ramadhan. Memet benar-benar payah hari itu. Haus dan lapar melanda dirinya. Di Tengoknya, jam dinding berulang kali, semakin kering tenggorokannya semakin sering dia menengok jam.

"Masih lama Mang?" Tanyanya kepada Mang Udin.

"Sebentar lagi." Mang Udin tetap sabar menjawab. Sudah lima kali Memet bertanya dalam lima menit terakhir ini. Walaupun sebenarnya waktu berbuka kurang satu jam lagi. 

"Met! Din! Sini! Kita siapkan buka puasa pertama kita." Seru Pak Bambang dari dalam. Pak Bambang walaupun sudah acuh tak acuh dengan agama, hehe kapan-kapan kita ceritain kenapa Pak Bambang bisa sampai seperti itu. Tapi kalau ramadhan, beliau ikut senang. Bukan senang karena puasa, tapi senang ikut berbuka.

Memet dan Mang Udin masuk kedalam rumah. Sekedar info, mereka tadi dari gazebo favorit mereka. Memet benar-benar ngiler melihat hidangan dihadapannya, ada kambing guling utuh, ayam ingkung utuh, aneka seafood, cumi, udang, lobster pun juga ada. Ikan-ikan tawar juga ada, gurame bakar, nila bakar, lele goreng dan lain lain. Bermacam-macam nasi, ada biryani, mandhi, kebuli, uduk, dan juga nasi biasa. Bermacam-macam sayuran, ada yang tradisional sampai kebarat-baratan. Bermacam-macam buah-buahan dari yang paling murah sampai yang paling mahal. Semua dipesankan Pak Bambang, tinggal di tata di meja. Sedangkan Mang Udin, dia berdiri mematung. 

"Din, ngapain disitu? Sini bantuin." Tegur Pak Bambang. Mang Udin pun beranjak dengan langkah gontai ikut bantu-bantu.

Memet sangat antusias, apalagi saat melihat lobster. Dia belum pernah makan lobster, makanya dia sangat excited. Dia ambil lobster yang masih dibungkus kateringnya, dia angkat dia taruh di meja. Saat meletakkannya,

"ANJING!" Memet mengumpat, tangannya terkena capit lobster entah gimana itu, padahal sudah mati, mungkin tertusuk sedikit capitnya yang lancip atau gimana, penulis sendiri juga belum pernah makan lobster.

Mang Udin hanya melirik sekilas dengan pandangan tidak suka. Tak terasa,

NGUENG NGUENG NGUENG

Sirene waktu Maghrib berbunyi dari masjid. "Sudah waktunya, ayo Met Din." Antusias Pak Bambang langsung duduk di menjeplak. Ya sore itu konsepnya lesehan.

"Gas Pak." Memet ikut antusias ia langsung mencomot lobster.

Sedangkan Mang Udin, dia hanya duduk dengan gontai, minum air sedikit, kemudian cuma mengambil jeruk. Yang dia makan bukan jeruknya, cuma kulitnya. Kalian mesti bertanya, Emang bisa kulit jeruk dimakan? Bisa, kalau gak percaya coba saja sendiri. Memet yang melihat Mang Udin terheran-heran,

"Mang khenapa cuhma makhan khulit jeyiuk Mag? Khayak khambhing." Memet bertanya mulutnya masih penuh dengan makanan.

Mang Udin hanya melihat dengan pandangan sinis, tidak suka, tidak senang. Memet yang melihatnya salah tingkah.

"Eh, saya salah omong ya Mang." Kali ini mulutnya sudah kosong.

"Beginilah gambaran puasa kita hari ini." Mang Udin berkata datar sambil memperlihatkan kulit jeruk dan kemudian memakannya.

"Kulit jeruk Mang?" Memet masih belum paham. Sedangkan Pak Bambang masih asik makan, beliau kalau makan tidak bisa diganggu gugat.

"Puasa yang kita lakukan hari ini percuma, cuma dapat lapar hausnya doang. Tidak dapat pahalanya, Macam jeruk ni cuma dapat kulitnya doang."

"Eh kok bisa Mang?"

"Kau tadi, waktu menata makanan kau mengumpat, berkata kotor, lobster kau bilang anjing, itu sudah menghilangkan pahala puasa,..." Mang Udin menghela nafas, "lalu...ini." ia bentangkan tangannya ke semua hidangan yang ada di meja, ia berkaca-kaca.

"Eh kenapa Mang dengan makanannya?" Memet benar-benar bingung.

"Met, hakikat puasa adalah kita merasakan bagaimana menjadi orang yang tidak mampu, orang fakir miskin, menjadi orang yang mungkin makannya hanya bisa 3 hari sekali bukan 3 kali sehari. Merasakan bahwa kita tidak bisa sombong sebagai makhluk. Asal kau tahu Met, orang fakir miskin lebih mulia di sisi Allah, besok di akhirat dikatakan  kalau jarak orang fakir miskin masuk surga dengan orang mampu orang kaya, berjarak 500 tahun lamanya. Lalu, ini?!" Mang Udin matanya berkaca-kaca, tangannya lagi-lagi terbentang kepada hidangan di meja, ini benar-benar berlebihan, isrof.

Memet hanya menunduk, sedangkan Pak Bambang, "Din kamu gak makan? Kenapa malah mewek gitu, tenang ini semua halal kok. Kalo laper makan Din, jangan malah ditahan sampe nangis gitu, ini ada makanan banyak. La terus kamu ngapain juga Met? malah nunduk-nunduk gitu. Ya terserah kalian lah." Pak Bambang melanjutkan makannya, tak tahu dan tak peduli dengan apa yang telah terjadi.


Oleh : Arif Akbar.

Thursday, June 8, 2023

Ketika Kesabaranku Setipis Tissue



Siapa sih yang disini kalau dikritik atau dihadapkan dengan masalah yang menyebalkan terkadang merasa mudah sekali untuk merasa marah dan kesal?


Kadang juga, saking kesel dan marahnya, bisa sampai keluar kata-kata yang tidak enak didengarkan oleh telinga.


Lalu, kenapa seseorang bisa marah? Marah adalah cara orang melindungi diri dari rasa sakit dan terluka. Layaknya 2 mata pisau, marah bisa sangat sehat, adaptif (bisa menyesuaikan diri dengan sekitar), dan menjadi pelindung diri. Tapi marah juga bisa menjadi maladaptif yang dapat dikaitkan dengan agresi (perilaku yang menimbulkan kerusakan fisik atau mental) atau kekerasan. Intinya marah, itu boleh. Tapi kalau marah-marah bahkan sampai meluap-luap itu yang tidak boleh.


Dampak yang ditimbulkan dari marah-marah sangat menyeramkan. Salah satunya ialah meningkatkan risiko penyakit jantung. Nah lo bahaya banget kan? Dilansir dari Harvard Health Publishing, 2 jam setelah seseorang meluap-luap amarahnya, maka akan terasa nyeri di bagian dada. Karena kemarahan menyebabkan keluarnya hormon stres seperti adrenalin yang membuat jantung berdetak lebih cepat dan tekanan darah naik. Kemarahan juga membuat darah kamu lebih mungkin menggumpal, yang sangat berbahaya bila arteri kamu menyempit oleh plak yang mengandung kolesterol.


Oleh karena itu, Nabi Muhammad bersabda saat ada seorang Shahabat meminta nasihat kepada beliau, lalu beliau menasihatinya untuk tidak marah;


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أنَّ رَجُلًا قالَ للنَّبيِّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم: أوْصِنِي، قالَ: لا تَغْضَبْ. فَرَدَّدَ مِرَارًا، قالَ: لا تَغْضَبْ.


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya ada seseorang yang berkata kepada     Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”Berilah aku nasihat.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ”Janganlah engkau marah.” Diapun mengulanginya beberapa kali, beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Janganlah engkau marah.” (HR. Al Bukhari).


Eh ternyata dampak yang ditimbulkan ternyata se-berbahya ini. 


Nabi juga memberi resep kepada kita saat kita dalam keadaan marah. Yaitu, saat kamu marah dalam keadaan berdiri maka hendaklah rubah posisimu menjadi duduk. Kalau sudah duduk, masih merasa marah, maka hendaklah kamu berbaring. Atau jika tidak ingin luapan amarahmu mengganggu sekitarmu, maka kamu bisa journaling atau menulis apa yang sedang kamu rasakan saat itu dalam sebuah catatan buku, bukan di sosial media ya. 


Kesimpulannya, marah itu boleh, tapi yang tidak boleh itu marah-marah ya. Buat kamu yang kesabarannya yang setipis tisu, dibagi 2 lembar, dan terkena air ingat, Control anger before it controls you. Bahaya, jangan diterusin.


Oleh: Joko.


Sunday, June 4, 2023

Lebih Baik Diam

        

        Pada zaman sekarang banyak sekali orang-orang yang menghujat, mencaci, dan juga menghina di mana-mana, terutama di media sosial,  padahal dalam diri mereka sendiri itu  masih banyak sekali kekurangan.

         Maka dari itu, kita sebagai santri tidak usah ikut-ikutan pada perkara tersebut, karena kita tahu bahwa mencaci orang lain itu termasuk perbuatan yang tercela. Dan bisa jadi orang yang kita hina atau caci itu lebih baik daripada kita. Lalu sebaiknya daripada kita tidak bisa berkata baik kepada orang lain alangkah baiknya diam. Seperti dalam hadits Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam yang diriwayatkan oleh abu Hurairah:   

مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَاليَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْراً أَوْ لِيَصْمُتْ 

Artinya: "Barang siapa saja yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam."

Sebagai penutup, ada sedikit cerita mengenai hal tersebut, yang diceritakan oleh Imam syafi'i;

Banyak orang berkata kepadaku : "Mengapa engkau diam padahal engkau dimusuhi?" Aku katakan kepada mereka : "Suatu permusuhan sama dengan melakukan kejahatan, Bersikap diam dalam menghadapi orang bodoh atau orang yang gila merupakan kebaikan jiwa. Di dalam sikap diam juga terdapat penjagaan bagi kehormatan.  Tidakkah engkau lihat! Harimau dihutan itu ditakuti dan disegani ketika mereka diam, sedangkan anjing dijalan raya banyak yang dilempari karena selalu menyamak."

Begitulah yang disampaikan Imam syafi'i mengenai hal diam.


Oleh : Rois Shofil M.

Thursday, June 1, 2023

خاطب الناس على قدر عقولهم

خاطب الناس على قدر عقولهم

 


        Semakin dewasa seseorang, semakin sedikit pula omongannya, karena dia tahu menyampaikan kebaikan harus pula diikuti dengan cara yang benar; memperhatikan siapa yang dia ajak bicara, bagaimana pengetahuannya tentang topik yang dibahas, dan bagaimana pikiran mereka merespon omongan kita. Ini sejalan dengan saran Nabi Muhammad saw:


أمرنا معاشر الأنبياء أن نحدث الناس على قدر عقولهم


“Kami, para Nabi, diperintahkan Allah untuk berbicara/mengajak kepada masyarakat sesuai dengan tingkat akal pikiran mereka”.

 

        Maka dari itu, kalau kita menelaah hadist-hadist Rasulullah, kita akan menemukan penyesuaian nasehat-nasehat beliau terhadap para sahabatnya. Ada seorang pemuda yang ragu-ragu masuk islam karena takut ribet, tapi Rasulullah hanya menasehati "Jangan berbohong". 

Ada seseorang yang meminta wasiat, beliau hanya menasehati "Jangan marah".

Saat ada sahabat yang meminta amal ibadah paling baik, kadang Rasulullah menjawab "Sholat pada waktunya" atau diwaktu lain "Jihad di jalan Allah" ada juga "Zuhud lah", dan lain sebagainya. Hal tersebut menunjukkan Rasulullah menyesuaikan siapa yang berbicara kepada beliau.


Abdullah bin Mas’ud pernah memberi nasehat:


مَا أَنْتَ بِمُحَدِّثٍ قَوْمًا حَدِيثًا لا تَبْلُغُهُ عُقُولُهُمْ ؛ إِلا كَانَ لِبَعْضِهِمْ فِتْنَةٌ


"Tidaklah kamu berkata-kata kepada masyarakat dengan ucapan-ucapan yang tidak sampai pada akal pikiran (pengetahuan) mereka, kecuali akan menimbulkan ‘fitnah’, (kesalahpahaman, atau goncangan) di antara mereka”.


        Maka dari itu, sebelum berbicara kepada seseorang, alangkah baiknya kita memilah dan memilih topik dan kalimat yang sesuai dengan akal mereka. Salah satu hal yang membedakan antara orang cerdas dan orang yang bijak adalah cara penyampaian nya; apakah dia bisa 'membumikan penjelasan langit' nya itu atau penjelasannya hanya diketahui oleh kalangannya sendiri. 

Sebagai penutup, ada gubahan nasehat bagus dari Imam Syafi'i yang ditulis Imam al-Ghazali dalam Ihya' nya:


فَمَنْ مَنَحَ الْجُهَّالَ عِلْماً اَضَاعَهُ، وَمَنْ مَنَعَ الْمُسْتَوْجِبِيْنَ فَقَدْ ظَلَمَ


"Barangsiapa membagikan ilmu kepada orang yang tak faham, maka ia telah membuang-buang ilmunya. Tetapi barangsiapa menolak membagikan ilmunya kepada yang paham, maka dia telah melakukan kedzaliman.

(Ihyâ' I/57).


Oleh : Muh. Alawy Machfudz.