Wednesday, September 4, 2024

Qowa’idul Fiqh, Bukan Fiqih Biasa



  1. Definisi 

Secara bahasa, kata Qowa’id (قواعد) adalah jama’ dari kata Qo’idah (قاعدة), yang bermakna asas, dasar, atau pondasi. Jadi bisa disimpulkan bahwa Qowa’idul Fiqh adalah dasar-dasar yang berhubungan dengan berbagai masalah dan jenis fiqih. Sedangkan menurut Imam Tajjuddin As-Subki (w. 771 H) mendefinisikan Qowa’idul Fiqh sebagai : 

الأمر الكلي الذي ينطبق عليه جزئيات كثيرة يفهم أحكامها منها

“Sesuatu yang bersifat kulliy (general) yang meliputi bagian-bagian (juziyyat) yang banyak sekali, yang dipahami hukum nya dari kaidah tadi” 


Apabila Ushul Fiqih digunakan untuk takhrijul ahkam (mengeluarkan hukum) yang berasal dari Al-Quran dan Sunnah, maka Qowa’idul Fiqh berperan sebagai tathbiqul ahkam, yaitu penerapan hukum pada suatu masalah melalui kaidah-kaidah yang disimpulkan secara general dari materi-materi fiqih yang sudah ada, yang kemudian digunakan untuk menentukan hukum atau kasus baru yang belum tercantum di dalam nash (Al-Quran dan Sunnah). Keduanya secara sah telah diakui sebagai metodologi hukum (istinbathul ahkam) dari madzhab-madzhab yang diakui, dan mempunyai pionir pionirnya pada masing masing madzhab.


  1. Proses Pembentukan 

Apabila kita mengulik sejarah, sangat sulit untuk mengetahui siapa yang pertama kali menemukan dan membentuk Qowaidul Fiqih. Namun ada satu catatan yang menyebutkan bahwa Abu Thahir Ad-Dabbasi (4H), seorang ulama dari kalangan Hanafiyyah, telah mengumpulkan setidaknya 17 kaidah fiqih yang selalu beliau ulang-ulang di masjid sebelum para jamaah sholat pulang ke rumahnya masing-masing. Lalu seorang ulama Syafi’iyyah, Abu Sa’id Al-Harawi ‘menguping’ Abu Thahir dan mencatat kaidah kaidah fiqih yang telah dihafalkan Abu Thahir. Diantara 17 kaidah tersebut adalah 5 kaidah dasar yang terangkum apik dalam nadzom kitab الفرائد البهية berikut ini :


خَمْسٍ هِيَ الأُمُورُ بِالْمَقَاصِدِ

الْفِقْهُ مَبْنِيٌّ عَلَى قَوَاعِدِ

بِالشَّكِّ فَاسْتَمِعْ لِمَا يُقَالُ

وَبَعْدَهَا الْيَقِينُ لاَ يُزَالُ 

ثَالِثُهَا فَكُنْ بِهَا خَبِيرَا

وَتَجْلِبُ الْمَشَقَّةُ التَّيْسِيرَا

يُزَالُ قَوْلاً لَيْسَ فِيهِ غَرَرُ

رَابِعُهَا فِيمَا يُقَالُ الضَّرَرُ

فَهَذِهِ الْخَمْسُ جَمِيعًا مُحْكَمَهْ

خَامِسُهَا الْعَادَةُ قُلْ مُحَكَّمَهْ


  •    الأُمُورُ بِمَقَاصِدِها 

“Semua perkara tergantung dari tujuannya” 

  •  الْيَقِينُ لاَ يُزَالُ بِالشَّكِّ

“Keyakinan itu tidak bisa dihilangkan dengan keraguan”

  • الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِير

“Kesulitan itu dapat mendatangkan atau menarik kemudahan”

  • الضَّرَرُ يُزَالُ

“Kemudharatan itu bisa dihilangkan”

  • الْعَادَةُ مُحَكَّمَهْ

“Adat atau kebiasaan itu bisa menjadi landasan hukum”


Seratus tahun kemudian, datang ulama besar bernama Imam Abu Hasan al-Karkhi, yang menambahkan kaidah fiqih yang sudah dikumpulkan Abu Thahir sehingga menjadi 37 kaidah. Dari sini bisa kita tarik benang merah bahwa Qowa’idul Fiqh muncul pada akhir abad ke-3.

Proses pembentukan kaidah-kaidah fiqh adalah sebagai berikut :


Keterangan : 

  1. Sumber hukum islam secara mutlak; Al-Quran dan As-Sunnah

  2. Proses takhrijul ahkam (mengeluarkan hukum-hukum) menggunakan metodologi (istinbath) ushul fiqh.

  3. Hasil dari penggalian hukum tadi menghasilkan fiqih. Materi materi fiqih ini luas sekali, sehingga para ulama mencoba mencari persamaan pola hukumnya secara deduktif (melihat hal-hal secara umum terlebih dahulu sebelum akhirnya mengerucut menjadi lebih spesifik atau khusus). Setelah menemukan polanya, mereka mengelompok setiap masalah yang serupa, dan jadilah …

  4. Kaidah fiqih (Qowa’idul Fiqh)

  5. Kaidah-kaidah yang sudah terbentuk tadi akan diuji lagi menggunakan Al-Quran dan As-Sunnah untuk dinilai kesesuaiannya dengan substansi Al-Quran dan As-Sunnah.

  6. Setelah melewati proses pengujian, kaidah-kaidah fiqih yang akurat pun terbentuk. Kaidah yang mapan ini sudah bisa digunakan untuk menjawab persoalan-persoalan yang memang belum pernah ada sebelumnya (karena kesamaan polanya dan substansinya dengan Al-Quran dan As-Sunnah), baik itu masalah ekonomi, politik, sosial, budaya, dan sebagainya.

  7. Hukum fiqih pun dapat digali dengan praktis dengan menggunakan kaidah diatas. Sebagaimana Turki Utsmani dulu yang menggunakan 99 kaidah dalam membuat undang-undang tentang akad-akad mu’amalah yang berisi 185 pasal. Peraturan ini tertuang dalam Majallatul Ahkam Al-’adliyyah. 


Penggunaan kaidah fiqih ini semakin kuat dengan adanya pernyataan dari Ibnul Qoyyim Al Jauzi : 

تغير الْفَتوى واختِلاَفُها بِحسبِ تغيرِ اْلأَزمِنةِ واْلأَمكِنةِ واْلأَحوالِ والنياتِ والْعوائِد

"Fatwa berubah dan berbeda sesuai dengan perubahan zaman, tempat, keadaan, niat, dan adat kebiasaan" 

Oleh karena itu, Qowa’idul Fiqih menjadi penting bagi seseorang yang hendak mendalami fiqih. Karena kepraktisannya, dia dapat dengan mudah memetakan masalah-masalah yang timbul dan mengambil keputusan hukum yang tepat di sepanjang zaman. Karena pentingnya ilmu ini, ulama berkata : 

"Barangsiapa menguasai ushul fiqih, tentu dia akan sampai kepada maksudnya, dan barangsiapa yang menguasai kaidah-kaidah Fiqih pasti dialah yang pantas mencapai maksudnya" 


C. Referensi Kitab-Kitab Qowa’idul Fiqh 


Ada banyak sekali ulama yang mengarang kitab dalam fan ini. Saya akan menyebutkan sebagian kitab yang masyhur karya ulama dalam 4 madzhab yang sudah mu’tabar

  1. Hanafiyyah

Dari kalangan Hanafiyyah, yang paling terkenal adalah Ushulul Karkhi karya Imam Karkhi (w. 340) (أصول الكرخي للكرخي) yang telah di singgung di atas. Dari beliau, ilmu Qowa’id Fiqh berkembang sampai sekarang. 

Ada juga kitab yang terkenal, Al-Asybah wan Nadzo ir (الأشباه و النظائر) karya Al Imam Ibnu Najim Al Hanafi (w. 970 H). Dalam Madzhab Hanafiy -khususnya fan Qowa’id- kitab ini menjadi kitab pegangan utama dan menjadi kitab paling penting. Dan tahukah kamu, bahwa rujukan utama kitab ini (dalam sistematika kepenulisan) adalah kitab Al-Asybah wan Nadzoir nya Imam Jalaluddin As Suyuthi! (w. 911 H). 

  1. Malikiyyah

Selanjutnya dari kalangan Malikiyyah ada kitab Al-Furuq (الفروق) karya Al Imam Syihabuddin Al Qarafi (w. 684 H). Beliau adalah ulama yang sangat bersemangat kalau sudah menyangkut dengan ilmu. Tidak hanya fiqih, beliau juga pionir dalam bahasa, sastra, debat, dan juga ahli dalam bidang sains. Salah satu Guru beliau yang paling terkenal adalah Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H).

Salah satu motivasi beliau adalah : 

ينبغي لذوي الهمم العلية أن لا يتركوا الاطلاع على العلوم ما أمكنهم

“Bagi mereka yang mempunyai semangat yang tinggi, maka jangan sampai melewatkan untuk mempelajari berbagai ilmu bagaimanapun keadaannya”

  1. Syafi’iyyah

Madzhab yang paling besar pengikutnya ini mempunyai segudang karya dalam fan Qowa’idul Fiqh. Salah satu kitab paling terkenal dari ulama kalangan Syafi’iyyah adalah Qowa’idul Ahkam fi Mashalihil Anam (قواعد الأحكام في مصالح الأنام) karya Sulthanul Ulama Al Imam Izzuddin bin Abdissalam (w. 660 H). Julukan Sultahnul Ulama tersebut diberikan oleh salah satu muridnya, Ibnu Daqiq Al ‘id karena keluasan dan kedalaman ilmu yang dimiliki sang Guru.

Selanjutnya, kitab yang tidak kalah terkenal adalah Al-Asybah wan Nadzo ir (الأشباه و النظائر) karya Al Imam Jalaluddin As Suyuthi (w. 911). Saking masyhurnya, membuat kitab ini menjadi semacam ‘branding’ dari fan Qowaid dari golongan Syafi’iyyah. “Cari kitab Qowaidul Fiqh Syafi’iyyah ? Asybah lah..” kira-kira begitu. Kitab ini mempunyai banyak syarah, ikhtishar (ringkasan), dan banyak pula yang membuatnya menjadi nadzom agar mudah dihapal. Salah satu nadzom Asybah favorit penulis adalah nadzom الفرائد البهية, karya Syaikh Abu Bakr bin Abil Qosim Al-Ahdal Al-Yamani. 


  1. Dari kalangan Hanabilah, kitab rujukan Qowaid yang paling terkenal adalah Al-Qowa’idun Nuroniyyah (القواعد النورانية) Karya Syaikh Ahmad bin Abdul Halim bin Abdus Salam (Ibnu Taimiyyah). Seorang ulama yang cukup ‘kontroversial’ karena pendapat-pendapat beliau dalam bidang aqidah yang sering berbeda dengan mayoritas ulama lain. Walaupun begitu, banyak ulama yang menyanjungnya karena keluasan dan kedalaman ilmu yang beliau miliki. 

Ada pula kitab Qowa’id Ibn Rajab  karya Zainuddin Abdurrahman bin Ahmad bin Rajab (Ibnu Rajab). Beliau adalah murid dari Ibnul Qoyyim Al-Jauzi, murid kesayangan dari Ibnu Taimiyyah. Walaupun begitu, pandangan Ibnu Rajab agak berbeda dengan guru-gurunya, yang mana Ibnu Rajab adalah penganut madzhab Asy’ariyyah dalam bidang aqidah. 


‘Ala kulli hal, ilmu ini cukup penting untuk dipelajari dan dapat diterapkan pada kehidupan sehari hari, baik hukum, maupun kehidupan sosial.


Maraji’ : 

  1. الأشباه و النظائر للسيوطي

  2. الفرائد البهية للشيخ ابي بكر الأهدل

  3. المكتبة الشاملة

  4. فقه الحياة : أحمد سروات

  5. Google.com

  6. Salman Abdul Muthollib (2022), Majjallat Al-Ahkam Al-‘Adliyyah: Position and Influence on the Development of Fiqh, Media Syari’ah, Vol. 24, No. 2


Oleh: Ustadz Alawy Mahfudz


Previous Post
Next Post

1 comment: