Saturday, November 23, 2024

Mendobrak Stereotip: Langkah Melawan Budaya Patriaki Terhadap Perempuan

 

Pendahuluan

Pembahasan tentang kesetaraan gender (gender equality) tetap dan terus factual dari waktu ke waktu. Hal ini tidak hanya diperbincangkan di negara-negara yang memiliki peradaban tinggi, tapi juga mulai menjamur pembahasannya di negara-negara berkembang. Negara-negara Islam sebagai representasi negara berkembang sering mengklaim bila ajaran agamanya sudah mengkampanyekan isu kesetaraan gender sejak 14 abad yang lalu, namun pada kenyataannya ketidakadilan gender masih sering terjadi di negara muslim.

Fenomena terjadinya ketidaksetaraan (baca:bias) gender, disebabkan oleh masih dianutnya konsep patriarki di sebagian besar bangsa-bangsa di dunia. Pandangan bahwa laki-laki lebih kuat, lebih mampu, dan lebih berkuasa dibanding kaum perempuan telah mengkonstruk tatanan budaya yang lebih memihak kaum laki-laki dibanding perempuan. Paradigma ini telah berjalan dari waktu ke waktu dan dari generasi ke generasi, sehingga masyarakat sekarang ini tidak mampu membedakan antara yang disebut sebagai kodrat dengan konstruk budaya yang telah mengakar di dalam masyarakat.

Meskipun isu ini telah menjadi konstruk budaya dalam masyarakat dan telah berlangsung dari generasi ke generasi, persoalan ini kian lama semakin menyita perhatian untuk segera dicarikan sebuah solusi. Tulisan ini berusaha membedah secara singkat bagaimana upaya yang dapat ditempuh untuk menciptakan gender equality, dan menjabarkan hambatan-hambatan faktual dalam rangka mewujudkannya.

Pembahasan

  • Budaya Patriarki

Patriarki menurut pendapat Bressler adalah sebuah sistem sosial yang menempatkan laki-laki sebagai sosok pemegang otoritas tertinggi dalam komunitas sosial. Dalam lingkup keluarga, seorang ayah memiliki otoritas terhadap istrinya, anak-anak, dan harta bendanya. Secara tersirat sistem ini melambangkan superioritas kaum laki-laki dan menuntut subordinasi kaum perempuan.

Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dengan perempuan di masyarakat yang kemudian menjadi hirarki gender. Dalam kultur budaya orang Jawa, Perempuan masih dianggap sebagai warga kelas dua (the second class) yang keberadaannya sering diremehkan. Lebih lanjut lagi, dalam budaya Jawa terdapat beberapa istilah yang secara jelas menyudutkan posisi seorang perempuan dalam kelas sosial. Istilah yang menyebut seorang istri sebagai kanca wingking, teman belakang, memberi pemahaman bahwa seorang istri sebagai teman dalam urusan mengelola rumah tangga, khususnya urusan anak, memasak, mencuci, dan hal-hal yang berbau domestik lainnya. Ada lagi istilah yang lebih merendahkan martabat seorang perempuan, yaitu seorang istri harus bisa manak, macak, lan masak. Bahwa seorang istri harus bisa memberikan keturunan bagi suaminya, harus selalu berdandan, dan memasak untuk suaminya.

Ideologi-ideologi semacam ini telah mengakar kuat dalam masyarakat kita, diamini dan disahkan oleh berbagai pranata dan lembaga sosial, yang pada akhirnya dianggap menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang dimainkan oleh Perempuan dalam komunitas masyarakat.

  • Dampak yang Ditimbulkan Budaya Patriarki

Perbedaan gender pada dasarnya tidak akan menimbulkan masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender (gender inequalities). Namun, yang menjadi permasalahan adalah bahwa konstruk sosial yang telah terbangun dalam masyarakat telah menimbulkan berbagai ketidakadilan khususnya terhadap kaum perempuan. Di antaranya:

1. Marginalisasi atau proses peminggiran terhadap perempuan yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi. Contoh dari marginalisasi ini adalah kenyataan bahwa banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang dipandang hanya mampu diemban oleh kaum laki-laki. Akibatnya para perempuan hanya disisakan pekerjaan-pekerjaan kelas dua yang seringkali berpengaruh terhadap perbedaan gaji yang diterima antara laki-laki dan perempuan.

2. Subordinasi atau penomorduaan, secara mudahnya adalah keyakinan bahwa ada satu jenis kelamin yang dianggap lebih penting dan lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sebagai contoh dalam hak mendapat pendidikan, seorang perempuan sering kali dinomorduakan dalam hal akses mendapat pendidikan dibanding kaum laki-laki. Jika keadaan ekonomi suatu keluarga terbatas untuk mengenyam pendidikan maka laki-laki lah yang akan diprioritaskan, padahal bila diperhatikan bisa jadi perempuan lah yang lebih mampu.

3. Stereotipe yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. Hal ini menjadikan rawan terjadinya tindak diskriminasi yang merugikan kaum perempuan. Misalnya pandangan bahwa tugas kaum perempuan hanyalah di bidang domestik dan rumah tangga. Hal ini mengakibatkan sering kali perempuan dipandang sebelah mata dalam komunitas masyarakat.

4. Beban ganda, Perempuan selain mengerjakan hampir semua urusan rumah tangga juga sering kali masih dituntut untuk mencari nafkah untuk keluarganya. Sehingga bagi mereka yang bekerja, mereka merasa memiliki beban tambahan untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Sementara kaum laki-laki tidak terbebani oleh hal semacam ini.

Berlangsungnya kebudayaan patriarki ini memang tidak terlihat, tapi bisa dirasakan dengan jelas. Pada hakikatnya sistem ini tidak hanya merugikan pada kaum perempuan saja, tapi juga pada kaum laki-laki. Karena ketidakadilan muaranya adalah konflik yang dapat menjadikan tatanan kehidupan yang tidak nyaman antar sesama.

  • Langkah Mewujudkan Gender Equality dalam Budaya Patriarki

Mewujudkan kesetaraan gender bukanlah hal yang mustahil dilakukan oleh suatu masyarakat. Meskipun dalam usahanya pasti memerlukan waktu yang tidak singkat dan agenda yang lama. Karena merubah paradigma yang telah mengakar di masyarakat pastilah membutuhkan waktu.

Pendidikan merupakan kunci dari terwujudnya harapan kesetaraan gender dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan pendidikan merupakan sarana paling ampuh untuk mentransfer norma-norma masyarakat, pengetahuan, dan kemampuan mereka. Sebab itulah sejak awal perlu diwujudkannya keadilan gender dalam lingkup pendidikan.

Berawal dari miskin pendidikan, hal ini juga akan merembet dampaknya pada kemiskinan-kemiskinan pada aspek yang lain. Sebagai contoh, perempuan yang tidak mendapat akses pendidikan yang memadai akan kesusahan untuk mengakses pekerjaan yang memiliki upah layak. Maka dari itu, kesetaraan dalam hal dapat mengenyam pendidikan layak adalah hal yang harus digalakkan sebagai langkah upaya menghilangkan budaya patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.

Perbedaan gender, pada hakikatnya, adalah sesuatu yang wajar dan sudah menjadi bagian dari fenomena kebudayaan. Perbedaan ini tidak akan menjadi persoalan bila dari awal tidak menimbulkan ketidakadilan. Memperjuangkan kesetaraan bukan berarti mempertentangkan dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Tetapi lebih kepada upaya untuk membangun relasi hubungan yang setara antar sesama manusia.

Upaya untuk menciptakan gender equality juga tidak dapat dimaknai secara sporadis menyamakan antara perempuan dengan laki-laki. Kesetaraan di sini tidak dimaknai sebagai persamaan matematis, melainkan lebih pada kesetaraan yang adil yang sesuai dengan konteks masing-masing individu.

Penutup

Pada akhirnya mewujudkan kesetaraan gender merupakan tanggung jawab bersama. Karena ketidakadilan muaranya pasti konflik tak berkesudahan yang hanya menimbulkan tatanan masyarakat yang tidak nyaman. Oleh karenanya diperlukan upaya maksimal dari semua pihak untuk mewujudkan harapan kesetaraan ini dan menghilangkan budaya patriarki yang mengakar.

Oleh: Rafly

Previous Post
Next Post

1 comment:

  1. Keren, kebanyakan daging ni artikelnya 👏👏👏
    Terima kasih atas artikelnya beserta pendapatnya.

    ReplyDelete