Di sebuah sudut kota yang nyaris dilupakan waktu, hiduplah seorang anak bernama Paijo. Walau usianya baru menginjak 12 tahun, pikirannya jauh lebih dewasa dari anak seusianya. Ia dikenal di kampungnya sebagai anak yang cerdas, rajin, dan punya semangat belajar yang menyala-nyala. Namun hidup tak selalu ramah. Paijo lahir dari keluarga yang serba kekurangan. Ayahnya seorang pemulung, dan ibunya telah pergi selamanya saat Paijo masih balita.
Setiap pagi sebelum matahari muncul sempurna, Paijo sudah menyusuri jalan-jalan kota bersama ayahnya, mencari botol plastik, kertas bekas, dan apa saja yang bisa dijual. Tapi ada satu harta karun yang selalu ia buru diam-diam: buku bekas. Ia akan memungut LKS atau buku sekolah yang masih bisa dibaca, membersihkannya, dan menjadikannya jendela menuju mimpi-mimpinya.
“Aku mau sekolah, Yah. Biar bisa jadi orang pintar,” katanya suatu malam ketika mereka pulang membawa hasil tak seberapa. Sang ayah hanya bisa tersenyum getir, lalu mengusap kepala anak satu-satunya itu. Ia tahu betul, dalam dunia seperti mereka, impian seringkali hanyalah kemewahan.
Suatu siang yang terik, saat Paijo sedang mengais tumpukan sampah di pinggir jalan, tangannya menyentuh sesuatu yang tak biasa. Sebuah dompet kulit mahal. Jantungnya berdegup lebih cepat. Di dalamnya terdapat KTP, STNK, ATM, dan setumpuk uang yang jumlahnya lebih banyak dari yang pernah ia lihat sepanjang hidupnya.
“Paijo, itu bisa buat makan kita berbulan-bulan…” bisik hatinya ragu.
Namun hanya sedetik. Ia tahu apa yang harus dilakukan. Ia menggenggam dompet itu erat dan berkata pada ayahnya, “Yuk, kita cari pemiliknya.”
Rumah pemilik dompet itu bagai istana. Pintu gerbangnya saja lebih besar dari rumah Paijo. Ketika mereka mengetuk pintu, seorang pria paruh baya membukakan, wajahnya terlihat cemas, tapi berubah lega begitu melihat dompet di tangan Paijo.
“Ini… ini milik saya! Kamu yang nemu?” pria itu bertanya tak percaya.
Paijo mengangguk. Ia tak berharap apa-apa, hanya lega karena telah melakukan yang benar.
Namun pria itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Ia mengundang Paijo dan ayahnya masuk, menyajikan makanan hangat, dan mengobrol santai. Di tengah tawa dan rasa kagum melihat rak-rak buku dan foto-foto keluarga yang hangat, Paijo merasa dunia ini begitu luas dan ia ingin jadi bagian dari dunia itu.
Ketika hendak pulang, pria kaya itu bertanya, “Apa yang kamu mau sebagai ucapan terima kasih? Apa saja. Katakan.”
Paijo menunduk sesaat. Ia menatap sang ayah, lalu menatap pria itu penuh harap. “Saya… saya cuma pengin sekolah, Pak. Bisa sekolah aja udah cukup. Saya janji nggak akan nyia-nyiain.”
Pria itu terdiam, matanya berkaca-kaca. Ada sesuatu dalam suara Paijo. Tulus, jujur, dan penuh tekad.
“Mulai besok, kamu akan sekolah, Nak. Aku yang akan biayai semuanya.”
Hari itu, langit terasa lebih biru. Dan Paijo tahu, mungkin ini bukan hanya tentang dompet, tapi tentang takdir yang ia temukan di antara tumpukan sampah.
Oleh : Arsa
0 comments: